Rabu, 23 Juni 2010

Wajah dalam Cermin

Wajah itu menatapku dari dalam cermin. Wajah yang sangat familier, tapi juga asing karena selama ini aku kurang akrab bergaul dengan cermin. Boleh dibilang bahkan aku cenderung untuk menjauhi cermin karena aku kurang menyukai apa yang kutemukan di sana.
Tetapi malam itu aku menatap wajah itu dengan seksama. Memperhatikan setiap detilnya, menganalisa setiap bagiannya.
Aku melihat dahi yang lebar, persis dahi ayahku, dengan warna kulit yang sedikit lebih gelap dari bagian wajahku yang lain (yang juga tidak putih). Ibuku bilang sewaktu melahirkanku dulu, dokter meninggalkan ibuku yang baru mencapai bukaan lima untuk menangani pasien yang sudah mencapai bukaan sepuluh di rumah sakit lain dengan pesan untuk jangan dulu mengejan sebelum dokter kembali. Ternyata dalam waktu yang relatif singkat ibuku sudah mencapai bukaan sepuluh dan aku mulai mendesak keluar. Cukup lama beliau menahanku tepat di jalan lahir. Ketika dokter kembali, begitu melihat ujung rambut sang dokter, ibuku melepas semua pertahanannya dan akupun meluncur keluar dalam satu dorongan. Dahi dan ubun-ubunku berwarna kehitaman karena pembuluh-pembuluh darah di sana sempat terjepit cukup lama ketika ibuku menanti dokter yang tak kunjung datang. Untunglah lama kelamaan warna kehitaman itu memudar walaupun tidak sama persis dengan bagian wajahku yang lain.
Pandanganku beralih ke alis yang tipis dan tersebar tak beraturan di sepanjang tulang alis, bahkan sampai ke kelopak mata.
Disusul dengan sepasang kelopak mata yang tebal dan tanpa lipatan, dengan bulu mata yang lurus dan pendek-pendek. Begitu tipis dan pendeknya sampai kalau tidak diperhatikan benar-benar, tampak seolah-olah aku tidak mempunyai bulu mata sama sekali.
Kini aku memperhatikan bagian mata. Sepasang mata yang kecil dan sipit, dengan sudut luar yang mengarah ke bawah sehingga mennimbulkan kesan sayu. Seandainya saja sudut-sudut mata itu mengarah ke atas seperti mata kucing, mungkin akan tampak lebih menarik dan seksi, seperti Lucy Liu, salah satu pemeran tokoh Charlie’s Angels, atau Michelle Khan, seorang aktris Hong Kong yang terpilih menjadi salah satu James Bond’s girl (gadis pendamping James Bond) yang merupakan pilihan gadis-gadis terseksi sepanjang zaman.
Beralih ke hidung yang walaupun tidak pesek tetapi cukup besar, dengan sebutir baso sebagai pusat tepat di tengahnya. Kucoba memijitnya agar tampak lebih ramping, tetapi wajah itu malah terlihat aneh karena sudut matanya ikut tertarik. Akhirnya, dengan pasrah kulepaskan kembali hidung baso yang malang itu sambil menghembuskan nafas keras-keras.
Bagian terakhir dari wajah itu adalah sepasang bibir yang cukup lumayan sebetulnya, hanya saja bibir itu tampak sedikit kehitaman akibat pemakaian lipstick-lipstik murah yang kubeli waktu ABG, sebelum akhirnya aku menyerah dalam usahaku memperbaiki penampilanku ini.
Aku pun mengalihkan tatapanku ke bawah, menolak untuk menatap wajah yang mengecewakan itu lebih lama lagi.
Memang selama ini aku tidak pernah mengalami kesulitan bergaul dengan siapa pun, termasuk para pria. Mereka mengagumi efisiensi kerja dan luasnya wawasanku, kami biasa berdiskusi dan tukar pendapat. Topik apa pun bisa kuladeni dengan seimbang seolah-olah aku ini seorang pria seperti mereka, bahkan sampai membicarakan kaum wanita tanpa merasa kagok di depanku. Tapi kalau soal asmara, tak seorang pun melirikku. Seperti percakapanku siang tadi dengan serang rekan pria.
“Gila, gue kemaren ngeliat cewek cakep banget di BIP! Putih, mulus, pake hot pants sama tank top, keren boo! Pantatnya kenceng lagi, kaya bapaw!”
“Ah elo! Emang ngga cukup apa punya pacar satu? Kan si Rani juga udah cakep banget,” ujarku sambil diam-diam melirik pakaianku yang sangat jauh dari kategori seksi. Lagipula aku tidak cukup percaya diri untuk mengenakan pakaian seksi karena kurasa bentuk tubuhku kurang menunjang untuk itu.
“Iya dong! Pacar gue kan harus cakep. Kalo ngga cakep malu dong dibawa jalan, apalagi kalo ketemu temen, muka gue mau ditaro di mana kalo bawa cewek jelek?”
Dalam hati aku ngedumel, “Ngga sensitif! Ngga punya perasaan! Gua kan termasuk cewek jelek, sialan! Dia pikir gua bukan cewek apa?”
“Emang kenapa?” tantangku, “Yang penting kan hati sama otaknya. Diajak ngomong nyambung, saying suami, setia pula!”
“Puih! Cewek mah ngga usah pinter-pinter, ntar malah ngelunjak! Yang penting keren, jadi bangga ngegandengnya. Kalo urusan setia sih, selama doku mengalir, doi pasti setia kok, tenang aja,” sahutnya renyah.
“Emangnya barang? Bisa dibeli pake uang & gunanya Cuma untuk dipamerin doang? Enak aja!” ujarku ketus, tersinggung karena dia begitu merendahkan nilai dan martabat kaum wanita.
“Ya iya lah! Bayangin gue ngegandeng cewek udah item, jelek, gayanya kampungan lagi. Bisa-bisa disangka gue jalan sama pembantu gue dong!”
Aku pun malas membahasnya lebih lanjut karena rasanya hatiku perlahan tenggelam, amblas entah ke mana menyisakan ruang yang begitu hampa sampai-sampai terasa menyesakkan di dadaku.
Itulah penyebab aku mengamati wajahku di cermin malam itu, dan banyak malam-malam lain di mana aku menyesali penampilanku yang “biasa-biasa saja” kalau tidak bisa dibilang jelek.

Lamunanku terputus oleh suara anak bungsuku, “Mama! Susunya udah abisss!”
“Oh! Iya sayang, sebentar mama ke sana,” aku menyahut dengan riang.
Perlahan kuletakkan sisir yang kupegang di meja riasku, kembali kutatap bayanganku di cermin. Wajah yang menatapku mala mini masih wajah yang sama dengan wajah dalam cermin di malam itu dua belas tahun yang lalu, hanya sedikit lebih berisi, dan mulai ada timbunan lemak tipis di bawah daguku. Tetap tanpa polesan, tetap dengan hidung baso dan dahi yang lebih gelap. Yang membedakan hanyalah ekspresi damai dan penerimaan yang terpancar darinya, tak ada lagi penyesalan dan amarah di sana.
Diam-diam kuamati sosok suamiku yang sedang bercanda dengan kedua jagoan cilikku. Sosok yang gagah dan digandrungi wanita. Bahkan sampai saat ini masih banyak wanita yang menunjukkan perhatian lebih padanya. Tapi dia telah memilihku menjadi pendampingnya, mengasihiku dan menghormatiku. Alasannya? Ternyata kriteria seorang pria dalam mencari pacar dan mencari istri itu berbeda, dan dia menemukan apa yang dia cari di dalam diriku.
Jadi, kaum wanita yang merasa dirinya “biasa-biasa saja”, percayalah bahwa Tuhan menciptakan setiap kita sempurna adanya. Setiap kekurangan dan kelebihan kita ada dalam rancangan-Nya, bukan merupakan suatu kesalahan atau pun kelalaian. Dan Tuhan punya rencana yang indah dalam hidup kita, apa pun itu, asalkan kita sabar menanti dan mengikuti waktunya Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar