Rabu, 23 Juni 2010

Sharing : Kejadian-kejadian dalam Hidup Berkeluarga Sehari-hari (2) Episode Hiking di Setiabudi Regency

Beberapa waktu yang lalu teman kami menikah. Mereka membangun rumah di daerah Setiabudi Regency. Setiabudi Regency adalah sebuah perumahan di kawasan Bandung Utara yang secara harfiah terletak di atas gunung. Karenanya, selain kondisi tanah yang naik turun dan cuaca yang sejuk dengan sinar matahari yang menyengat, bagian belakang dari perumahan ini juga berbatasan langsung dengan perkampungan dan perkebunan penduduk di gunung tersebut. Kebetulan daerah Bandung Utara memang dikenal sebagai penghasil sayur-sayuran dan bunga-bungaan andalan di Jawa Barat.

Pada hari libur yang lalu (hari libur apa aku lupa, yang jelas penanggalan menunjukkan warna merah dan anak-anak libur sekolah) teman kami mengundang kami untuk ber-komsel (persekutuan komunitas sel) di rumah baru mereka sambil hiking (lintas alam) ke pegunungan di belakang kompleks Setiabudi Regency. Memang suamiku dan suami temanku itu adalah pecinta lintas alam dan biasa mengikuti suatu perkumpulan lintas alam di Bandung. Akhirnya kami pun datang ke sana dengan multi tujuan, mengunjungi rumah baru teman, bersekutu di dalam komsel, rekreasi bersama keluarga di hari libur, dan berolah raga untuk kebugaran.

Dengan berbekal sebotol air teh dan roti untuk sarapan di perjalanan (Kami memilih berangkat pagi-pagi agar terhindar dari macet. Maklum, daerah Bandung Utara selalu macet di hari libur dan akhir pekan) dan seloyang pudding buatan sendiri sebagai buah tangan, kami pun berangkat ke sana. Sesampainya di sana, kami menerima sambutan hangat dan kami pun diajak berkeliling melihat rumah baru temanku yang di-desain secara apik dan unik (temanku adalah seorang desainer dan suaminya adalah seorang arsitek). Anak-anakku tampak sangat bersemangat “menjelajahi” seluruh penjuru rumah yang menurut mereka antik karena hampir tanpa pintu dan banyak ruang rahasianya.

Setelah puas melihat-lihat, kami pun bersiap untuk memulai perjalanan lintas alam kami. Kami memakai sepatu kets dan sambil bercengkrama kami pergi keluar, mengunci pintu dan mulai berjalan. Dari jalan raya, kami mulai berbelok ke arah perkampungan. Jalan yang kami tempuh pun kini berupa jalan setapak. Anak-anak kami sangat bersemangat dan mereka tampak terpesona melihat keseharian warga kampung yang sederhana dan berbeda jauh dari kehidupan kami di kota. Mereka pun tampak takjub manyaksikan kami orang-orang kota yang “nyasar” ke kampung. Anak-anak mereka menunjuk-nunjuk kami sambil tertawa-tawa. Tetapi mereka ternyata sangat ramah menjawab sapaan kami dan menanggapi “punten” (permisi dalam Bahasa Sunda) yang kami lontarkan kepada mereka.

Selain itu kami sangat senang melihat begitu banyak kebun sayur-sayuran sepanjang perjalanan kami. Medan yang kami lalui semakin berat. Kami harus berjalan melewati pematang-pematang di sela-sela barisan sayur-sayuran, melompati parit kecil, memanjat gundukan tanah, sampai meniti kayu atau bamboo yang menjadi jembatan tradisional bagi warga setempat. Sangat mengagumkan melihat kebun tomat, kebun selada dan kebun sayur-sayuran lainnya di depan mata kami. Anak-anak pun mendapatkan pelajaran biologi dadakan. Mereka melihat bagaimana bibit sayuran yang begitu mungil dan rapuh berwarna hijau muda disemaikan dalam potongan-potongan selang plastik, mereka juga melihat bagaimana para petani “menyelimuti tanaman mereka dengan lembaran plastik yang diberi lubang-lubang tempat keluarnya batang tanaman supaya airnya tidak cepat menguap dari tanah. Kami juga melihat “green house” tradisional yang terbuat dari bambu dan lembaran-lembaran plastik tempat mereka membudidayakan cabai paprika yang selama ini kita lihat sudah rapi terbungkus di rak-rak di pasar swalayan. Dan kami juga melihat serta menghirup aroma gundukan pupuk tradisional yang terbuat dari kotoran ternak (Dahsyat!). Belum lagi sepasang sapi perah dan beberapa ekor kambing yang kami jumpai sepanjang perjalanan. Pokoknya perjalanan kami sangat luar biasa siang itu.

Ya, tanpa terasa kami berjalan cukup jauh hingga matahari tinggi di atas kepala kami. Anak-anak kami, termasuk si kecil Christopher sangat hebat dan kuat. Mereka berlari-lari jauh mendahului Mama dan tantenya yang “boyot” (lambat) dan kepayahan ini. Tetapi ketika kami keluar dari area perkebunan dan kembali memasuki daerah pemukiman penduduk dan menjumpai warung-warung yang menjual minuman dan makanan kecil, mereka pun meminta uang untuk membeli minuman dan makanan kecil yang ditawarkan. Celaka! Rupanya tak ada satu pun di antara kami orang dewasa yang ingat untuk membawa uang atau dompet. Apa boleh buat, kami pun terpaksa menahan rasa panas dan haus kami dan memaksa diri kami berjalan pulang karena bahkan untuk naik ojeg sampai ke tepian kompleks pun kami tidak bisa karena tidak membawa uang. Hanya ada receh sejumlah Rp.800,- di kantongku yang akhirnya kami belikan sebuah air mineral kemasan gelas yang isinya kami bagi-bagi dan 2 butir permen untuk kedua anak kami.

Sialnya, kami juga lupa membawa topi dan matahari siang itu sangat ceria dan bercahaya terang benderang, jadi lengkaplah penderitaan kami. Akhirnya kami membatalkan rencana kami semula untuk mengunjungi tempat pembibitan anggrek di puncak bukit dan mencoba jalan tembus menuju perumahan Triniti yang memiliki sarana-bermain untuk anak-anak. Kami memilih untuk pulang dan segera memuaskan dahaga kami.

Akhirnya, sampai juga kami di rumah teman kami. Dengan sangat bersyukur kami pun membuka sepatu dan kaus kaki kami serta menganginkan kaki kami yang terasa begitu panas dan menderita. Teman kami pun menyuguhi kami dengan air es yang diberi potongan jeruk lemon di dalamnya. Rasanya seperti oasis di tengah padang gurun. Setelah puas minum kami semua pun bergelimpangan di lantai ubin yang sejuk tanpa memikirkan lagi tata krama atau pun faktor kebersihan. Maklumlah karena keluarga kami dengan teman kami ini sudah berteman cukup lama dan sudah dekat seperti saudara saja layaknya.

Saat itu hari sudah siang dan perut kami pun mulai protes minta diisi. Akhirnya tuan rumah membongkar isi kulkas dan kami bahu membahu menyiapkan makan siang dengan menu yang terdiri dari nasi putih hangat, tumis pakcoy bumbu bawang putih dan onion omlet bumbu kecap yang sungguh menggoyang lidah. Ditutup dengan home-made choco coffee pudding yang kubawa pagi tadi. Wah kenyangnya!

Setelah rasa lelah mulai sirna dan perut pun mulai jinak karena sudah diisi, kami pun memulai “komtai” (komsel tapi santai) kami di ruang kerja. Dengan gaya lesehan di lantai beralas karpet lipat bermotif kotak-kotak(serasa piknik gaya western jadinya, cieee!!), kami mulai mengobrol ngalor-ngidul sementara Lucky (anak sulung kami) asyik membaca komik di suatu pojok dan Chris (anak bungsu kami) asyik minum susu sambil meremas-remas “baju meng” (ket: baca episode 1)-nya di pojok lainnya.

Tanpa terasa sore mulai menjelang dan kami pun pamit pulang dengan janji untuk mengulangi kembali hiking ini di waktu mendatang. Sungguh hari libur yang padat hiburan dan manfaat. Thanks to Andy & Lie Ling, God bless you…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar