Rabu, 23 Juni 2010

Kisah Freeia dan Vorg part.5

Berjam-jam mereka mendaki bebatuan berlapis salju itu. Semakin lama, kaki Freeia terasa semakin berat. Ia tidak terbiasa dengan aktifitas fisik yang berat seperti itu. Apalagi sejak badai semalam perutnya belum diisi apa-apa. Sepatunya sudah basah dari tadi karena menapak di salju. Sepatu itu terbuat dari kelopak bunga yang lembut dan tidak kedap air. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Hanya punggung Vorg yang berada beberapa meter di depannya yang menjadi fokusnya. “Satu langkah lagi… Satu langkah lagi… Satu langkah lagi…” litani itu seakan bergaung di kepalanya sementara ia terus melangkah mengikuti Vorg yang berjalan sambil sesekali menghentak-hentakkan kaki untuk memadatkan salju di depannya agar Freeia lebih mudah melaluinya.

Sementara itu Vorg berkonsentrasi pada jalur yang harus mereka tempuh. Ia berusaha mencari jalan dengan medan yang termudah supaya dapat diiuti oleh peri mungil di belakangnya. Sesekali ia mengerling dengan sudut matanya dan melihat Freeia masih mengikutinya. Ia tak menyadari kelelahan yang dirasakan peri manis yang terseok-seok mengikutinya karena Vorg sendiri sudah terbiasa berjalan atau memanjat seharian tanpa makanan sedikitpun.

Entah sudah berapa lama mereka berjalan ketika cahaya di langit tampak memudar. Kegelapan perlahan bertambah pekat dan Vorg mulai gelisah karena firasatnya mengirimkan sinyal-sinyal negative di hatinya. Freeia tampak tak menyadari apa pun karena ia sudah terlalu lemas untuk bahkan berpikir tentang apa pun. Tiba-tiba suara gemuruh angin mulai terdengar di kejauhan.

“Gawat! Kelihatannya badai akan datang lagi. Kita harus segera mencari perlindungan,” kata Vorg sambil menoleh memandang Freeia. Alangkah terkejutnya Vorg melihat Freeia yang berjalan sempoyongan. Bibirnya pucat dan tubuhnya menggigil. Dengan sigap dihampirinya Freeia dan menangkapnya tepat ketika Freeia terjatuh karena kelelahan.

Angin bertiup semakin kencang. Badai semakin mendekat. Dibopongnya tubuh mungil Freeia dan ia pun dengan cepat merambah semak-semak dan gundukan-gundukan batu yang mencuat untuk mencari tempat berlindung. Akhirnya Vorg menemukan semacam gua yang cukup dalam di punggung bukit itu ketika raungan angin sudah begitu dekat. Ia pun masuk ke dalam gua dan dengan hati-hati diletakkannya Freeia di lantai gua. Dengan cepat dibersihkannya gua itu sekedarnya dan dipindahkannya Freeia ke sudut gua yang terlindung dari angin.

Vorg mengumpulkan sebanyak mungkin ranting-ranting kayu dan dedaunan kering yang bisa dijumpainya dan meletakkannya kayu-kayu itu dalam gua. Kemudian dibukanya pelindung sikunya yang terbuat dari cangkang kumbang. Diisinya kedua cangkang itu dengan salju yang bersih untuk dicairkan menjadi air minum. Tapi sayang, sebelum ia berhasil mencari sesuatu untuk dimakan badai yang ganas itu sudah kembali bertiup di luar gua. Cepat-cepat Vorg masuk untuk berlindung di dalam gua.

Hal pertama yang dilakukannya adalah membuat api di tengah gua dengan cara menjentikkan 2 buah batu sampai muncul percikan bunga api di antaranya. Setelah api yang riang menari-nari menghangatkan gua itu, ia pun memanaskan salju yang tadi diambilnya dengan cara menggantung cangkang kumbang yang berisi salju pada sebatang ranting yang ditancapkannya di lantai tanak di samping api unggun. Kemudian perlahan Vorg menghampiri Freeia yang tergolek di sudut gua. Tubuhnya masih agak menggigil dan bibirnya yang pucat tampak pecah-pecah terkena terpaan udara dingin.

Sepatunya basah. “Dasar bodoh! Mana bisa sepatu empuk begitu dipakai untuk perjalanan berat,” pikir Vorg. Perlahan dibukanya sepatu Freeia. Tampak kakinya yang mungil kini pucat dan keriput karena basah dan kedinginan. Vorg melepas mantel bulunya dan menyelimuti tubuh Freeia dengan mantel itu. Mantelnya yang putih (mungkin dari musang putih atau serigala putih yang bulunya tersangkut di semak-semak tempat Vorg menemukannya) tampak kontras dengan kulit Freeia yang kecoklatan dan rambutnya yang hitam legam. Selanjutnya Vorg berusaha menghangatkan kaki Freeia dengan menggosoknya keras-keras agar darah kembali mengalirinya. “Kecil sekali kakinya,” pikir Vorg sambil terus menggosok sampai dirasanya kehangatan mulai terasa di kaki Freeia dan warna kemerahan mulai kembali di kulitnya.

Air panas sudah siap. Vorg meniupi air panas itu dan membawanya kepada Freeia. Ia menopang kepala Freeia dengan tangan kiri dan meminumkan air hangat itu ke mulut Freeia dengan tangan kanannya. Sebagian airnya tumpah dan mengalir ke pipi dan leher Freeia, tetapi sebagian lagi berhasil melewati kerongkongan gadis itu. Mengangguk puas, Vorg pun membaringkan Freeia kembali dan ia duduk di dekat mulut gua. Ditatapnya pusaran angin dan salju yang menutup setiap pemandangan yang ada di hadapannya. Raungan angin yang memekakkan tak hentinya menyerang pendengarannya.

Jemu mendengar suara angin, dikeluarkannya alat musik taringnya dari tas kulit ularnya, diselipkannya di sela-sela bibirnya dan Vorg pun mulai meniupnya. Alunan musik memenuhi gua kecil itu, menyuarakan kesepiannya, menyuarakan kegundahan hatinya memikirkan Trod adiknya, menyuarakan impian hatinya akan masa depan yang ia pun tidak tahu seperti apa rupanya.

TO BE CONTINUED….
Nah, sampe di sini saya mulai bercabang ide nih. Boleh kasih masukan?
Apa lebih baik cerita ini dilanjut tetap sebagai cerita petualangan biasa dengan sedikit greget cinta (Rating remaja)
Atau lebih baik cerita ini saya kembangkan jadi adventurous romance yang lebih cocok buat konsumsi dewasa (17 tahun ke atas, tapi ngga sampe vulgar banget kok ;p)
Hehehe polling nih ceritanya…. Thanks before 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar