Sejak usia dini, kami mencoba untuk mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai rohani kepada ank-anak kami. Di antaranya dengan mengikut sertakan mereka dalam kelas-kelas sekolah minggu di gereja dan dengan mengajak mereka berdoa dan membaca Alkitab bersama di rumah.
Beberapa waktu yang lalu kami sempat mengalami penurunan dalam hal rohani. Karena kesibukan, masalah dan kelelahan, kami seringkali mengabaikan mezbah keluarga kami (sharing, berdoa, membaca Alkitab dan bercerita mengenai hari itu bersama keluarga). Puji Tuhan akhirnya kami sadar dan berusaha kembali ke kegiatan ini. Bukankan justru di saat-saat yang berat kita sangat membutuhkan kehadiran dan campur tangan Tuhan?
Ketika kami mengumpulkan anak-anak untuk kembali mendirikan mezbah keluarga kami, mereka sangat antusias menyambutnya. Memang selama masa vakum pun hampir setiap malam Lucky, anak sulung kami, akan bertanya, “Kita ngga berdoa?” dan biasanya akan kujawab, “Malem ini doa masing-masing yah? Papa Mama cape banget nih.” Dan dia akan masuk ke kamar dengan lesu.
Malam itu anak-anak sangat bersemangat dan berebut untuk memimpin doa. Akhirnya pilihan jatuh kepada Lucky dan ia pun berdoa, “ Terima kasih Tuhan karena akhirnya kita bisa berdoa sama-sama lagi. Udah lama sekali kita ngga ngumpul kaya gini… dst.” Di situ kami merasa ditegur dengan keras. Betapa kami begitu terfokus dengan masalah yang kami hadapi sehingga kami mengabaikan kebersamaan dengan anak-anak kami, mengabaikan ‘quality time’ bersama keluarga yang sebetulnya merupakan hak setiap anak. Kami juga merasa ditegur karena kami begitu sibuk mengandalkan kekuatan kami sendiri, berkutat memikirkan jalan keluar dari masalah kami dan kami lupa untuk berserah dan meletakkan setiap beban kami di kaki-Nya. Bukankah Ia Allah yang Maha Pengasih dan Maha Kuasa? Tetapi Ia juga adalah Allah yang Maha Lembut yang takkan merangsek masuk ke dalam kehidupan kita jika kita tak mengundang dan menginginkan-Nya di sana.
Begitu besar kuasa doa seorang anak sehingga bukan saja bisa menjadi teguran dan mengingatkan kita, doa yang tulus dan polos dari seorang anak juga seringkali mendatangkan mujizat. Suatu hari Chris terjatuh. Lututnya terluka dan berdarah dan ia menangis meraung-raung karena sakit. Kami tak dapat menghibur atau menenangkannya, sampai akhirnya aku mengajarkan kepadanya sebuah “mantra” yang dahulu sering kuajarkan kepada Lucky ketika ia masih kecil. Mantranya berbunyi seperti ini,” Sakit… Sakit… Ayo pergi! Dalam nama Tuhan Yesus, pergilah sakit!” Kita boleh menyebutnya sugesti, tetapi aku menyebutnya iman. Setelah “mantra” itu diucapkan, Chris berhenti menangis dan kami bisa mengobati lukanya. Bahkan ketika kami tanyakan, Chris berkata bahwa rasa sakitnya sudah lenyap.
Pada kesempatan lain, doa Lucky bisa mengembalikan kucing kami yang hilang. Suatu hari, kucing kami membawa pulang bangkai seekor tikus dan memakannya. Tetapi tak lama kemudian badannya kejang-kejang dan ia pun muntah-muntah tak terkendali di sepanjang lorong toko. Setelah itu dengan terhuyung-huyung dia pergi meninggalkan toko entah kemana. Kebetulan saat itu aku sedang tidak ada di rumah dan aku baru mendengar cerita itu keesokan harinya. Aku sangat khawatir karena mungkin tikus yang dimakannya mati karena racun tikus dan karenanya meracuni kucing kami. Kutunggu sampai seminggu, Si Meng tak kunjung pulang. Suamiku hampir yakin kalau kucing kami sudah mati keracunan. Walaupun aku berkata bahwa kucing sangat kuat dan karena dia sudah memuntahkannya maka dia akan baik-baik saja, sebetulnya aku meragukan perkataanku sendiri. Memang beberapa kucing punya kebiasaan untuk meninggalkan rumah majikannya ketika dia tahu bahwa maut akan segera menjemputnya. Lagipula selama ini paling lama kucing kami berkelana selama 2-3 hari sebelum akhirnya pulang ke rumah. Malam itu, saat berkumpul dan berdoa bersama, Lucky mendoakan Si Meng. Katanya, “Tuhan, waktu itu Si Meng makan tikus beracun. Sekarang dia ngga pulang-pulang. Tolong Tuhan, semoga Si Meng ngga mati dan semoga dia bisa pulang dengan selamat….”
Percaya atau tidak, keesokan harinya Si Meng pulang dengan selamat. Kurus dan dekil, tetapi sehat dan tak kekurangan suatu apapun.
Doa seorang anak juga seringkali terasa lucu di telinga kita. Tetapi kepolosan dan kejujuran mereka seringkali menyentuh hati kita sedemikian rupa. Niat yang tulus, semangat yang menyala-nyala, kepercayaan yang penuh pada sosok Pencipta-nya yang hebat dan sakti, juga kepeduliannya pada sesame yang tampak dalam doa-doa mereka sungguh menjadi kesejukan di tengah dunia orang dewasa yang sudah begitu tercemar ini. Mungkin itulah sebabnya Yesus berkata, “Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.”
Aku ingat ketika kami mulai mengajari Chris berdoa. Doa pertama yang dikuasainya adalah doa makan, demikian bunyinya, “Tuhan, Chris mau makan. Tolong berkatin supaya sehat. Terima kasih Tuhan, dalam Nama Yesus, Amin.” Dia begitu bersemangat berdoa dan selalu mengajukan diri untuk memimpin doa. Setiap pagi sebelum membuka toko, kami selalu mengawalinya dengan doa bersama seluruh karyawan (menurut kepercayaan masing-masing). Apabila kebetulan Chris ada di sana, dia selalu ingin memimpin doa, demikian bunyinya, “Tuhan, Chris mau buka toko. Tolong berkatin supaya sehat. Terima kasih Tuhan, dalam Nama Yesus, Amin.” Begitu juga saat akan bepergian ke luar kota, kami biasa mengawali perjalanan kami dengan doa bersama di mobil sebelum berangkat. Akhirnya, untuk perjalanan dekat ke rumah mertua pun Chris menuntut agar kami berdoa terlebih dahulu dan ingin memimpin doa, demikian bunyinya,” Tuhan, Chris mau ke rumah Ama Lina. Tolong berkatin supaya sehat. Terima kasih Tuhan, dalan Nama Yesus, Amin.” Begitulah doa supaya sehat ini berkumandang di setiap kesempatan doa selama kira-kira 3 bulan sebelum akhirnya perbendaharaan doanya bertambah. Manis bukan?
Satu lagi doa anak kami yang sungguh berkesan buatku. Waktu itu aku merasa sudah melebihi batas toleransi kegemukan dan karenanya aku mencari tahu untuk kemudian menjalankan suatu program diet yang sudah terbukti efektif dan tidak mempunyai efek samping. Cukup sukses, sampai sejauh ini aku sudah berhasil menurunkan beberapa kg dari berat tubuhku. Memang tidak drastis dan membutuhkan waktu yang lama, sampai Lucky selalu bertanya kapan aku akan berhenti berdiet dan mulai makan dalam jumlah banyak lagi. Aku menjawab bahwa masih beberapa kg lagi kelebihan lemak yang ingin kusingkirkan dari tubuhku. Malam itu saat berdoa Lucky berdoa demikian, “Tuhan, semoga Mama besok mau makan yang banyak dan ngga takut kegemukan lagi. Emangnya kenapa kalo gemuk ya Tuhan? Kan yang penting hatinya?...” Aku tercabik antara rasa geli dan haru. Ternyata Lucky menerima diriku apa adanya tanpa menilai keindahan fisik seperti yang dinilai oleh kebanyakan orang. Memang kalau dipikir-pikir, orang yang benar-benar mencintai kita akan lebih menghargai pribadi dan keberadaan kita sebagai orang terkasih daripada keelokan penampilan ataupun prestasi kita. Tapi karena alasan kesehatan (sudah bukan ABG lagi) dan kepantasan berpakaian, aku tetap melanjutkan program diet yang kujalani dengan member pengertian pada Lucky bahwa aku tidak menderita karenanya.
Selain doa-doa rutin dan formal yang kami lakukan, kami juga belajar untuk membiasakan diri kami terhubung dengan Tuhan setiap saat, berbicara di dalam hati kepada-Nya setiap waktu. Misalnya meminta ijin sebelum melakukan sesuatu, meminta hikmat sebelum mengambil keputusan, mengeluarkan unek-unek di hati, meminta penyertaan-Nya dalam melaksanakan sesuatu, dan sebagainya. Salah satu yang kami ajarkan kepada anak-anak adalah frase yang digunakan dalam mengekspresikan berbagai hal. “Puji Tuhan” untuk setiap hal yang terjadi, misalnya. Hal ini sempat menjadi bumerang buat kami. Sekarang ini (sudah sekitar 2-3 bulan dan masih berjalan) Chris adalah satpam mulut di rumah kami. Setiap ada ekspresi yang menurutnya kurang pantas dia akan menegur siapa pun yang mengatakannya. Suatu kali Papanya sedang menonton pertandingan sepak bola dan ketika bola gagal disarangkan ke gawang lawan ia serta merta berseru, “Edan ampiiiiirrrr!!” Chris menyalak saat itu juga,”Papa ngga boleh bilang edan!”
Juga saat aku melihat sebuah tayangan unjuk bakat di televise dan berkomentar, “Gila, hebat pisan!” Chris kembali menyalak, “Mama ngga boleh bilang gila!”
Dan kami akan mendisiplin diri kami dengan meminta maaf dan mengulangi kalimat yang sama tetapi mengganti kata serunya dengan frase ‘Puji Tuhan’. “Puji Tuhan ampir gol.” “Puji Tuhan hebat pisan.” Seperti itulah. Agak merepotkan memang, tapi kami percaya bahwa kebiasaan yang baik akan mengkasilkan budaya yang baik dalam jangka panjang.
Begitu banyak pengaruh doa dalam kehidupan keluarga kami. Bahkan tanpanya, tidak mungkin kami yang sangat jauh dari sempurna ini masih bertahan dan berhasil membangun sebuah keluarga seperti sekarang ini. Tuhan yang memampukan kita untuk memaafkan kesalahan, Tuhan yang memampukan kita untuk melupakan sakit hati, Tuhan yang memampukan kita untuk bangkit dari kegagalan, Tuhan yang memampukan kita bertahan dalam kebenaran sesulit apa pun keadaannya dan sebesar apapun godaannya, dan Tuhan yang menyembuhkan, mencukupkan, memelihara dan memberikan sukacita dalam apa pun yang kami hadapi. Semoga tulisan ini bisa memberkati setiap keluarga yang membacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar