Keesokan harinya badai telah berhenti. Freeia telonjak bangun dan segera memeriksa keadaan Vorg. Syukurlah suhu tubuhnya terasa normal walaupun wajahnya masih tampak pucat. Freeia pun bangkit untuk menjerang air dan membakar beberapa biji-bijian kalau-kalau Vorg bangun dan merasa lapar.
Vorg bermimpi buruk. Kumbang raksasa mengejar-ngejar dan menangkap adiknya. Saat Vorg mengejarnya wajah dan suara teriakan Trod berubah menjadi sosok dan teriakan Freeia yang dicengkram capit beracun kumbang ganas itu. Vorg berusaha berlari mengejar dan berteriak tetapi suaranya tidak keluar dan langkahnya terasa begitu berat. Tangannya menggapai tanpa daya ketika kumbang itu menyeret tubuh lemas Freeia menuju kegelapan yang begitu pekat…
Vorg bermimpi indah. Tubuhnya serasa melayang di udara. Aneka warna menghiasi latar belakang mimpinya. Rongga hidungnya dipenuhi aroma segar yang sangat familiar di hidungnya, seperti harum bunga-bunga di musim semi. Vorg memejamkan mata dan sepasang tangan yang lembut membelai rambut dan keningnya. Apakah ia sudah mati dan berada di Surga?
Tiba-tiba aroma lain merasuki rongga hidungnya. Harum biji-bijian hangat dan pekatnya aroma dedaunan kering membuatnya terbangun. Dibukanya matanya yang terasa berat. Vorg melihat Freeia sedang bersimpuh di sisi api, mengaduk the rumput dalam cangkang kumbang mantan pelindung sikunya. Biji-bijian yang sudah dipanggang sampai merekah beralaskan daun kering di sisi kakinya. Vorg tersenyum senang. Seandainya saja setiap pagi pemandangan indah seperti ini menyambutnya saat bangun tidur.
Vorg mencoba untuk bangun, tetapi rasa nyeri yang menusuk di lengan dan kepalanya membuatnya terpaksa berbaring kembali sambil mengaduh tertahan. Freeia menoleh mendengar suara Vorg. Dijatuhkannya ranting yang sedang dipakainya mengaduk the dan buru-buru dihampirinya pemuda itu.
“E..eh! Kau jangan bangun dulu,”
“Aku tidak apa-apa kok. Cuma luka kecil, tak seberapa,” kata Vorg.
“Luka kecil apanya? Seluruh tubuhmu luka-luka dan memar-memar. Dan sikumu hampir hilang setengahnya tahu?” Freeia memarahi Vorg.
“Hahaha… Jangan sewot dong. Aku sudah biasa kok,” jawab Vorg ringan. Tetapi tak urung ia mengernyit kesakitan ketika menggerakkan lengannya. Freeia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, setengah kagum, setengah bingung menghadapi pemuda jabrik itu.
“Ayo kita makan. Setelah itu kita melanjutkan perjalanan. Kau mau pulang kan?” Vorg berkata ceria sambil kembali berusaha bangkit dari tidurnya.
Freeia membantu Vorg duduk. Saat itulah Vorg menyadari bahwa ia tidak berpakaian. Wajahnya yang pucat tiba-tiba saja tampak tidak begitu pucat karena semburat kemerahan di pipinya, hanya bibirnya yang masih tampak kebiruan.
“Kemarin pakaianmu berlumuran lendir dan darah, juga sobek di beberapa tempat. Aku sudah membersihkan dan memperbaikinya. Tuh di sana,” Freeia menjelaskan dengan canggung sambil bergegas mengambilkan pakaian Vorg. Wajahnya merah padam dan ia berjongkok membelakangi Vorg sambil pura-pura mengaduk the rumput yang sebenarnya sudah siap dari tadi. Setelah yakin Vorg selesai berpakaian barulah Freeia berbalik dan membawakan sarapan mereka ke tempat Vorg duduk.
Selama sarapan mereka berdebat tentang ide melanjutkan perjalanan versus ide beristirahat beberapa waktu sampai lengan Vorg sembuh.
Freeia berpikir sebaiknya mereka menunggu tangan Vorg sembuh.
Vorg berpendapat bahwa tangannya tidak apa-apa.
Freeia berkeras bahwa wajah Vorg sangat pucat.
Vorg berkata bahwa wajahnya memang pucat dari dulu.
Freeia merasa menunda perjalanan beberapa hari tidak akan banyak pengaruhnya.
Vorg berdalih bahwa ada kemungkinan masih ada kumbang raksasa lain di sekitar situ.
Akhirnya Freeia terpaksa menyerah karena tidak tahu mau bilang apa lagi.
Setelah selesai sarapan mereka pun melanjutkan perjalananan mereka. Langkah mereka agak lambat karena kondisi Vorg belum pulih benar. Berulang kali Freeia berpura-pura lelah dan meminta Vorg untuk berhenti dan beristirahat karena dilihatnya bibir Vorg begitu putih dan keringat dingin bermunculan di dahinya walaupun Vorg tidak mengatakan apapun.
Menjelang sore mereka baru mencapai tepian dataran luas berumput ketika mereka mendengar suara berkerosak keras di rumpun rumput si sebelah kanan mereka. Keduanya saling memandang. Perlahan Vorg mengeluarkan senjata tanduknya dan berjalan sambil merunduk mendahului Freeia menghampiri arah datangnya suara tadi.
“Vorg, jangan! Mari kita memutar saja,” Freeia merintih setengah memohon. Ingatannya melayang pada kumbang raksasa yang menyerang mereka semalam.
“Tenanglah. Lebih baik kita tahu apa yang kita hadapi dari depan daripada tiba-tiba mendapat serangan dari belakang,” jawab Vorg tenang meskipun rahangnya mengeras dan garis-garis wajahnya tampak tegang.
Dengan hati-hati disibakkannya lembar rumput terakhir yang menghalangi mereka dari sumber suara itu. Hatinya mencelos lega sementara di belakangnya Freeia menghembuskan nafas yang sedari tadi ditahannya. Ternyata seekor burung besar yang sangat tampan terperangkap di sana, tubuhnya terbelit sulur-sulur dan rerumputan yang kusut di sekelilingnya. Wajahnya yang berwarna coklat tanah bermahkotakan jambul besar berwarna hitam mengkilat, sewarna dengan paruhnya yang ramping dan melengkung cantik. Punggung dan sayapnya yang kokoh juga berwarna hitam mengkilat, hanya saja makin mendekati ujungnya warna sayap-sayap itu bergradasi menjadi warna kelabu dengan pendar-pendar kebiruan di seluruh permukaannya. Sedangkan bulu-bulu yang menutupi dada dan perutnya berwarna putih bersih dengan secercah pulasan warna kuning di ujung-ujungnya. Dengan sisa-sisa tenaganya ia berusaha melepaskan diri, tetapi usahanya sia-sia. Tampaknya ia sudah berjuang cukup lama, kepakan sayapnya sudah melemah dan kepalanya terkulai lesu.
“Kasihan,” kata Freeia,” Mari kita tolong dia.”
Freeia dan Vorg dengan senjata tanduknya membantu burung itu melepaskan diri dari jeratan rumput dan sulur-sulur tanaman yang membelit tubuhnya.
“Terima kasih peri-peri yang baik hati. Tanpa kalian aku pasti mati sendirian di sini. Aku, Lloyd tidak akan pernah melupakan budi kalian.” Kata burung itu setelah tubuhnya terbebas sepenuhnya.
“Mengapa kau bisa terjebak di sini?” tanya Freeia
Untuk sesaat burung itu terdiam. Wajahnya tampak sedih sebelum akhirnya ia menjawab.
“Penunggangku adalah ksatria peri Vlardon. Kami sedang dalam perjalanan mengemban sebuah misi penting dari Yang Mulia Ratu-Ratu Musim ketika badai besar kemarin menjebak kami. Aku terlempar ke rerumputan dan terbelit di sini hingga aku bisa selamat, tetapi penunggangku terhempas ke tebing batu sebelah sana, tak mungkin ia berhasil selamat dari badai seganas itu,” sebutir ait mata berkilau menetes dari mata Lloyd.
“Kasihan sekali,” Freeia mengelus-ngelus sayap burung itu untuk menghiburnya.
“Kalau kami boleh tahu, sebenarnya misi apa yang begitu penting sehingga tidak bisa ditunda sampai musim semi?” Vorg akhirnya ikut bersuara.
“Kekacauan musim ini sebenarnya disebabkan karena Gorchuk si Troll mencuri keempat permata musim yang menjaga keseimbangan musim di negeri ini. Permata biru milik Ratu Musim Panas, permata Coklat milik Ratu Musim Gugur, permata ungu milik Ratu Musim Dingin dan permata Hijau milik Ratu Musim Semi. Keempat Ratu Musim menugaskan kami untuk merebut keempat permata itu dari tangan Gorchuk dan mengembalikannya ke tempatnya masing-masing sehingga cuaca ini bisa kembali dikendalikan. Sampai saat ini cuaca masih bertahan karena keempat Ratu Musim mengerahkan energi mereka untuk mengisi tempat permata yang kosong setiap hari. Apabila salah seorang dari mereka melemah terjadilah badai besar seperti kemarin. Badai pertama terjadi karena Ratu Musim Panas jatuh sakit akibat hawa dingin yang berkepanjangan ini. Entah berapa lama keempat Ratu Musim dapat bertahan. Apabila keempat permata itu tak ditemukan , aku tak tahu apa jadinya dunia ini nantinya,” Lloyd menjelaskan panjang lebar dengan wajah muram.
“Kini entah bagaimana nasib Ksatria Vlardon. Bagaimana kau bisa menjalankan misimu?” tanya Freeia.
“Justru itulah yang membuat aku bingung dan sedih,” jawab Lloyd.
“Kami bersedia membantumu,” celetuk Freeia spontan, “Eh, kalau kau mau maksudku…” Freeia melirik Vorg sambil menggigit bibir.
“Tentu saja kami bersedia membantu. Tapi apakah kau tidak ingin pulang? Perjalanan ini mungkin berbahaya,” kata Vorg.
Untuk beberapa saat Freeia sibuk mempertimbangkan perkataan Vorg sambil mengerutkan kening dan menotol-notol dagunya seperti biasa.
“Tidak!” kata Freeia akhirnya, “Aku ikut dengan kalian. Toh di rumah aku tidak akan tenang karena mengkhawatirkan kalian dan nasib dunia ini,” katanya mantap.
“Baiklah kalau begitu!” Lloyd dengan bersemangat merentangkan sayapnya dan merundukkan tubuhnya, “Naiklah ke punggunggku ksatria-ksatria peri. Kita akan memulai misi kita, semoga kita berhasil menyelamatkan dunia ini.”
Kedua peri kecil pemberani itu pun memanjat naik ke punggung Lloyd. Sang burung mengepakkan sayapnya dan mereka pun lepas landas menyongsong suatu petualangan yang tak terbayangkan oleh mereka berdua. Kebaikan dan kepedulian mereka mengalahkan setiap kegentaran dan keragu-raguan akan apa yang harus mereka hadapi nantinya.
TO BE CONTINUED….
Ke mana mereka menuju?
Apa yang akan mereka temui di sana?
Nantikan kelanjutannya di Kisah Freeia dan Vorg part.10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar