Seminggu yang lalu, kami sekeluarga bersama keluarga sahabat kami (Amul dari 4 Sekawan. Sebetulnya Wina pun berencana ikut tetapi tidak jadi karena ada halangan dan Adag tidak bisa diajak karena sudah pulang ke Australia) memutuskan untuk pergi piknik bersama di Hari Minggu. Tujuannya selain untuk bertemu (karena kami jarang bisa bertemu karena kesibukan sehari-hari), juga untuk berekreasi dan menyegarkan fisik dan mental kami yang stress karena tekanan pekerjaan dan kegiatan rutin setiap hari. Kami memutuskan untuk berpiknik gaya “jadul” (jaman dulu) dengan membawa nasi dan lauk-pauknya dari rumah. Lokasi kami sepakati di Lembah Bougenville – Maribaya, Bandung.
Sehari sebelumnya aku dan Amul (para ibu-ibu) sudah sibuk mempersiapkan menu dan apa-apa yang akan dibawa besok. Aku memutuskan untuk membeli nugget, sosis dan kentang goreng dengan alasan kepraktisan dan kemudahan dinikmati oleh anak-anak. Aku juga membawa sekotak teri medan goreng kering (yang ini special request dari Chandra, suamiku), satu termos besar nasi panas yang dilapisi lap bersih supaya panasnya tahan lama, beberapa butir tomat segar yang sudah dicuci bersih dan satu stoples besar emping manis oleh-oleh dari sahabat kami yang beberapa waktu lalu berkunjung dari Surabaya. Tidak ketinggalan aku pun membawa tikar untuk alas duduk kami di sana nanti. Tak lupa aku menyiapkan piring plastik, sendok plastik, pisau lipat, tissue basah dan kering, serta air minum dan baju ganti serta jaket untuk anak-anak.
Amul, seorang ibu dengan bayi berusia 9 bulan tanpa pembantu yang super sibuk karena juga masih menerima kursus bahasa mandarin untuk anak-anak di rumahnya, masih menyempatkan diri untuk menyiapkan sambal goreng hati-petai andalannya dan kare buatan sendiri untuk teman piknik keesokan harinya. Wuihhh!! Kebayang deh, masak sambal goreng itu kan memakan waktu sampai 3 jam, belum persiapan membersihkan, memotong-motong daging, hati dan petai menjadi dadu kecil-kecil. Belum lagi membersihkan dan mengulek sejumlah besar bumbu untuk sambal goreng dan kare buatannya yang tersohor itu (di kalangan keluarga dan teman-teman yang sudah pernah mencobanya dan ketagihan, hehehe). Dia juga masih harus menyiapkan susu, bubur bayi, termos, baju ganti, pampers, gendongan, dan berbagai perlengkapan bayi lainnya.
Pada Hari Minggu yang telah ditentukan kami menjemput Amul sekeluarga dengan kondisi bagasi mobil yang hampir penuh karena ternyata anak-anak kami masih membawa berbagai cemilan, bola sepak, rubik, robot-robotan, dan beberapa mainan lainnya. Sesampainya di rumah Amul barang bawaan kami bertambah dengan rantang berisi sayur dan 2 tas besar berisi perlengkapan bayi. Maka, penuhlah bagasi mobil kami yang memang tidak terlalu besar itu.
Dengan ceria kami pun berangkat ke Maribaya. Sepanjang perjalanan untunglah Lucky dan Chris cukup beradab (tidak ramai dan bertengkar seperti biasanya). Vely si bayi pun duduk tenang sepanjang perjalanan yang memakan waktu lebih dari 1 jam tersebut. Mungkin karena ada koko-koko yang aneh dan berisik serta pemandangan yang menarik sepanjang perjalanan membuatnya terkesima dan tidak terpikir untuk rewel. Maklumlah sehari-hari Vely menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. Keluar rumah paling-paling untuk berkunjung ke rumah Kakek Neneknya atau ke dokter.
Di perjalanan langit yang cerah sempat berubah mendung. Kami agak khawatir dan berdoa supaya tidak hujan karena takut acara piknik kami gagal akibat hujan. Tapi puji Tuhan sesampainya di Lembah Bougenville cuaca cukup bersahabat. Agak mendung (menyebabkan udara menjadi sejuk dan panas matahari tidak terlalu menyengat), tetapi tidak sampai hujan.
Kami pun membayar tiket masuk seharga Rp.10.000,- per orang (kecuali Chris dan Vely gratis) dan memboyong barang bawaan kami yang ‘aujubileh’ banyaknya ke dalam komplek rekreasi tersebut. Ternyata hari itu cukup ramai. Ada rombongan reuni suatu SMA Negeri terkemuka di Bandung yang berkumpul di rumah makan Lembah Bougenville, di pendopo Lembah Bougenville ada pula rombongan kaum usia indah yang tergabung dalam kelompok “Happy Club” seperti yang tertera di kaos seragam yang mereka kenakan. Belum lagi keluarga-keluarga pengunjung lainnya yang mungkin berencana untuk piknik seperti kami.
Kami sengaja berjalan agak jauh ke dalam lembah untuk mencari tempat piknik yang tidak terlalu ramai. Akhirnya kami memutuskan untuk berpiknik di dekat kolam ikan. Tetapi sayang saung (semacam gazebo untuk berkumpul dan bersantai) yang nyaman dan strategis sudah ditempati keluarga lain. Untunglah petugas di sana memberikan informasi bahwa saung-saung di Lotus Garden di dekat rumah burung masih kosong. Dan benarlah, di sebelah sana seluruh saung masih kosong, dan di sampingnya terdapat playground kecil tempat anak-anak kami bisa bermain.
Kami pun segera menggelar tikar yang kami bawa dan mengeluarkan semua ransum perbekalan yang sudah kami siapkan. Tanpa basa-basi kami sekeluarga menyerbu hidangan luar biasa yang tersedia di depan kami. Tinggal Amul dan suaminya yang harus menahan lapar dan meneteskan air liur mononton kami sekeluarga makan karena mereka harus terlebih dahulu memberi makan dan mengurus bayi mereka. Sayang Vely tidak mau digendong oleh orang lain selain Papa dan Mamanya, jadi kami sama sekali tidak bisa membantu mereka. Maap ya Mul, hehehe… Vely tidak mau memakan bubur susu yang disiapkan Mamanya, dan memilih kue dorayaki yang kebetulan kubawa untuk cemilan. Ngga papa deh, ditambah susu kelihatannya dia cukup senang dan kenyang.
Anak-anak langsung menyerbu nasi, nugget, sosis dan kentang goreng lengkap dengan saos sambal dan saos tomat. Ronde pertama Chandra dimulai dengan nasi hangat plus teri medan kering yang sudah lama diidamkannya. Ronde kedua diisi dengan nasi plus sambal goreng dan kare yang pedas dan kaya rasa ditemani emping manis suroboyo. Ronde ketiga adalah mencomot nugget, sosis dan kentang goreng (niatnya sedikit tapi jadinya banyak). Dan ronde terakhir adalah menyantap potongan-potongan tomat segar sambil berbaring kekenyangan (dan mengantuk) di tikar.
Sayang Chandra tidak dapat bermalas-malasan terlalu lama karena anak-anak mendaulatnya untuk bermain bola bersama mereka. Jadilah aku menemani Amul makan siang sementara Very mengajak Vely berjalan-jalan. Kami pun memuaskan hasrat mengobrol kami setelah sekian lama tidak bertemu. Dua orang wanita yang tiap hari bertemu saja selalu mempunyai banyak bahan untuk diperbincangkan, apalagi kami dua sahabat yang jarang bertemu. Kalau saja Lucky anak sulungku tidak datang berlari-lari membawa kabar bahwa Chris sakit perut mungkin kami akan tetap mengobrol dan tertawa-tawa sampai malam.
Aku berlari-lari menuju lapangan rumput tempat Chandra dan anak-anak bermain bola sementara Amul menggantikan Very mengasuh Vely supaya Very bisa makan. Di tengah perjalanan menuju lapangan rumput aku bertemu dengan Chandra yang menggendong Chris dan membawa kabar buruk.
“Ngga ketahan San. Udah keburu keluar di celana.”
Gubrak! Segera aku menggendong Chris dan membawanya ke toilet yang untungnya cukup bersih dan terletak dekat dengan saung tempat kami berpiknik.
Setelah selesai membereskan Chris dan mencuci celananya yang kondisinya tidak mungkin kuceritakan di sini, aku memakaikan Chris celana ganti yang untungnya sudah kupersiapkan kalau-kalau baju anak-anak kotor setelah bermain di alam bebas. Sempat aku merasa heran karena kejadian seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Chris selalu bilang saat ingin buang air dan tidak pernah sampai tidak tertahan sebelum sampai di toilet.
Anak-anak pun kembali bermain (kali ini di playground di samping saung kami) dan para orang tua bercengkrama di tikar. Chandra memutar koleksi lagu-lagu dari telepon genggamnya dan semilir angin pegunungan membuat kami begitu menikmati sore itu.
Beberapa waktu kemudian kembali Lucky berlari-lari mendapati kami dengan kabar buruk.
“Ma, Chris nya eek lagi!”
Gubrak Gedubrak Brang Breng Brak! Aku hanya membawa satu celana ganti. Bagaimana ini? Akhirnya setelah membersihkan Chris dan celananya yang kondisinya lebih parah dari yang pertama, aku memakaikannya celana Lucky yang tentu saja sangat kebesaran di tubuhnya. Untunglah Amul menyelamatkan keadaan dengan seutas karet gelang. Diikatnya sebelah dari bagian pinggang celana Lucky dengan karet gelang itu sehingga tidak merosot lagi. Chris pun kembali berlari-lari dengan ceria.
“Kayanya ada yang ngga beres deh San,”kata Amul,”Masa eek di celana sampai 2 kali? Ngga biasanya deh.”
Benar juga, pikirku. Untung Amul selalu membawa persediaan obat-obatan lengkap di tas nya. Aku pun menggerus setengah butir pil Diatabs dan melarutkannya dengan sedikit air untuk diberikan pada Chris. Syukurlah dia tidak buang air lagi sampai kami pulang malam harinya. Usut punya usut keesokan harinya akhirnya aku menemukan penyebab sakit perut Chris adalah obat dari dokter yang diberikan kepada Chris sore sebelumnya karena pilek. Ternyata tertera efek samping obat tersebut adalah diare, mual dan muntah. Segera kuberhentikan obat itu, lagipula pileknya sudah sembuh kok.
Hari semakin sore dan udara semakin dingin. Amul dan Very mengganti popok dan baju Vely dengan pakaian yang lebih hangat. Hebat sekali gadis kecil itu. Ia tidak tidur sama sekali hari itu. Mungkin begitu banyak hal yang menarik baginya di tempat ini. Sementara itu Lucky menendang bola sepaknya hingga masuk ke selokan besar yang airnya cukup deras. Belum sempat diambilnya bola itu terbawa arus dan masuk ke saluran pembuangan entah di mana. Chandra berusaha mengorek saluran pembuangan itu tanpa hasil. Berusaha ditelusurinya juga selokan itu tetapi mentok karena saluran tersebut mengarah ke bawah bangunan-bangunan dan tak bisa diikuti lagi. Terpaksa Lucky harus merelakan bola sepak kesayangannya.
Menjelang waktu pulang, langit sempat menurunkan hujan rintik-rintik. Gawat! Kami tidak membawa paying. Walaupun tempat kami berpiknik terlindung dari hujan karena dikelilingi semacam awning lebar, masa kami harus menunggu hujan sampai malam? Tetapi ternyata Tuhan memang baik. Tidak sampai 10 menit kemudian hujan sudah berhenti dan kami pun membereskan semua perlengkapan kami karena kami akan pulang.
Sebelum pulang, kami menyempatkan diri untuk memberi makan ikan-ikan di kolam yang memang disediakan bagi pengunjung untuk tujuan itu. Kami membeli beberapa bungkus pakan ikan dengan harga Rp.1.000,- per kantongnya. Begitu makanan ikan tersebut ditebarkan beratus-ratus ikan mas aneka warna yang besar-besar sebesar betis orang dewasa bermunculan dan berebut makanan tersebut. Beberapa ikan sampai nekat memanjat tubuh teman-temannya demi memperebutkan sebutir pellet makanan ikan itu. Berpuluh-puluh mulut ikan menganga ke arah kami dan kami membuat permainan berusaha melempar pellet langsung ke salah satu mulut yang terbuka itu. Ternyata sulit sekali. Tak satu pun dari kami yang berhasil. Chandra mencoba menaruh sejumput makanan ikan di telapak tangannya dan memasukkan tangan itu ke dalam air. Segera saja ia menjerit sambil menarik tangannya ke atas karena gerombolan ikan segera menyerbu dan memakan pellet itu dari tangannya. Bukannnya kapok, suamiku malah mengulanginya lagi, dan lagi, dan lagi hingga akhirnya Lucky pun ikut-ikutan. Tetapi Lucky hanya mencobanya 1 kali saja.
“Ngga tahan ih geli disedot-sedot banyak mulut ikan,” katanya.
Sementara itu Vely menatap semua kejadian itu dengan mata membelalak lebar dan kaki menyepak-nyepak. Bahkan cipratan-cipratan air yang terjadi karena liukan tubuh para ikan saat berebut makanan yang mengenai mukanya pun tak membuatnya menangis.
Setelah puas member makan ikan, kami pun berjalan kembali ke arah tempat parkir. Perjalanan pulang ini jauh lebih berat karena kalau tadi kami menuruni lembah, kali ini kami harus berjalan melalui jalan yang menanjak dengan curam. Di sanalah kami benar-benar merasa sudah tua. Karena paru-paru, pinggang dan otot-otot kaki kami protes keras disiksa seperti itu. Hanya anak-anak dan Chandra yang memang sering ikut lintas alam yang masih bersemangat dan bertenaga mendaki tanjakan itu.
Sesampainya di komplek utama teman rekreasi, kami tidak langsung pulang karena beberapa kali tertahan oleh sesuatu yang menarik. Pertama kami mengunjungi burung beo besar yang pandai menyiulkan lagu ‘Indonesia Raya’ dan fasih melafalkan ‘Pancasila’ karena dilatih oleh pemiliknya. Memang Lembah Bougenville ini dimiliki oleh seorang pensiunan Jenderal TNI keturunan Belanda yang cinta alam dan berjiwa nasionalis. Aneh bukan? Tapi Pak Jenderal Lambert ini sangat ramah dan bugar walaupun usianya sudah lanjut. Di sana dia juga membangun beberapa vila yang diberi nama sesuai dengan nama putri-putrinya yang memang cukup banyak. Vila-vila ini sangat nyaman dan artistik karena seluruh bangunan dan perabotannya terbuat dari kayu jati. Vila-vila ini sebenarnya disewakan untuk umum, paketnya sudah mencakup makan pagi-siang-malam dan snack yang lezat-lezat (terutama singkong goreng, pisang goreng dan susu murni nya yang benar-benar fresh karena diperah langsung dari peternakan di lembah ini juga). Tapi bila kau tertarik untuk menginap di sini jangan harap untuk menyewanya dalam waktu dekat karena semua vila sudah full-booked sampai 2 tahun ke depan untuk setiap weekend dan hari libur nasional maupun hari libur anak-anak sekolah.
Setelah mengunjungi si Beo, kami sempat bermain dahulu di playground besar yang ada di tengah-tengah halaman komplek vila. Setelah itu kami juga mencoba berjalan di jalur melingkar yang dipenuhi kerikil bulat-bulat untuk terapi refleksi kaki. Suamiku memaksaku berjalan 1 keliling dan aku menjerit-jerit sepanjang jalan itu karena ternyata rasanya sangat menyakitkan. Kata Amul berarti di tubuhku banyak penyakit. Sakit di sekitar tumit berarti ada masalah di sekitar pencernaan, sakit di bawah jari-jari kaki berarti ada masalah di daerah bahu, leher dan kepala, dan sakit-sakit lainnya yang aku tidak ingat semua. Maklumlah, Amul memang tertarik dan sedikit banyak mempelajari mengenai pengobatan tradisional tiongkok.
Sayang penyewaan sepeda sudah tutup pada jam sesore itu. Lagipula hujan rintik-rintik mulai turun lagi. Akhirnya kami pun terpaksa pulang juga. Tapi masih ada 1 lagi yang ketinggalan. Di pelataran parkir Lembah Bougenville terdapat kios-kios penjual sayur-sayuran segar yang benar-benar segar dengan harga yang cukup murah. Jenis-jenis sayur yang dijualnya pun bukan sayur biasa.
Ada jagung jepang yang sedikit lebih kecil dari jagung lokal dan berwarna pucat tetapi bulir-bulirnya tampak membulat hampir transparan dan berkilau seperti mutiara-mutiara kecil. Rasanya pun sangat renyah dan manis sampai-sampai jagung ini dapat dinikmati dalam keadaan mentah. Bila kita ingin merebusnya, hanya diperlukan waktu 5 menit saja untuk mematangkannya. Begitu digigit, akan terdengar bunyi “Kacruk!” yang nyaring dan air dari setiap bulir yang pecah terkena gigitan kita akan memancar dan berbaur dengan daging jagung yang renyah dan manis itu. Pokoknya nikmat deh. Chris saja bisa menghabiskan 2 tongkol jagung jepang rebus sendirian dalam sekali makan.
Ada pula tomat ceri yang kecil-kecil seperti buah ceri. Rasanya manis asam (lebih manis dari tomat biasa) dan berair banyak. Sangat enak untuk dimakan sebagai cemilan sehat tanpa diolah sama sekali. Cukup dicuci bersih dan sekantong tomat ceri akan menghilang ke dalam perut kami sekeluarga dalam sekejap mata.
Kemudian ada beberapa jenis jamur yang hampir seperti jamur putih yang biasa dijual di pasar-pasar. Tetapi jamur-jamur ini lebih segar dan lebar-lebar sebesar telapak tangan. Lagipula tersedia dua macam jamur, yang berwarna putih dan berwarna kehitaman. Amul bilang jamur ini sangat enak apabila digoreng setelah dibumbui dengan saus tiram kemudian dimasak dengan bawang dan cabai paprika. Wuihh! Membayangkannya saja sudah membuat perutku lapar lagi, hahaha…
Dan masih banyak jenis sayuran lain seperti baby buncis yang segar dan harganya sepertiga dari harganya di pasar swalayan. Kalau yang ini digoreng sebentar dan disajikan dengan daging cincang bumbu se chuan, hmmm… Ada juga sayur labu yang enak untuk dibuat kolak, ubi jepang yang enak bila dipanggang di oven, dan beberapa buah-buahan seperti alpukat mentega dan berbagai jenis pisang. Hanya satu hal yang agak mengganggu, semua penjual berebut menawarkan dagangannya dan berusaha membujuk kami untuk berbelanja di kiosnya sehingga kami agak pusing dibuatnya. Tapi hanya dalam waktu 15 menit saja bagasi mobil kami sudah dipenuhi berkantong-kantong belanjaan sayur mayur segar (Untung ransum makanan sudah berpindah ke perut kami jadi ada ruang cukup untuk menaruh belanjaan kami).
Akhirnya kami pulang juga. Sepanjang perjalanan pulang dari Maribaya sampai Lembang, kabut tebal menyelimuti kendaraan kami sehingga Chandra terpaksa mengemudi dengan kecepatan rendah. Sesampainya di Lembang, kami pun dihadapkan dengan macet total berkilo-kilo meter jauhnya. Untung saja Chandra mengetahui jalan-jalan alternatif yang membantu kami menghindar dari jebakan macet yang terlalu lama. Sementara itu matahari sudah tenggelam dan anak-anak (termasuk Vely) tertidur pulas karena kelelahan.
Kami sempat berhenti untuk makan malam si sebuah warung steak langganan kami. Kembali Amul dan Very berkutat memberi makan bayi mereka dahulu. Tapi mungkin karena hari ini cukup melelahkan, Vely makan dengan lahap dan mudah malam itu. Sabar ya Mul, setahun ke depan segalanya akan menjadi lebih mudah kok, hehehe…
Setelah perut kami terisi, kami pun mengantarkan Amul sekeluarga pulang ke rumahnya. Tanpa mampir dahulu kami langsung pamit pulang. Malam itu kami sekeluarga pun “tewas” dengan suksesnya sampai pagi karena capai tapi puas dan senang sekali hari itu. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar