Rabu, 23 Juni 2010

Cerpen : Hamil

Kupandangi benda di tanganku yang bergetar hebat hingga tampak kabur. Ada banyak garis merah muda di sana. Ada 1? 2? 4? Kupegangi pergelangan tangan kananku dengan tangan kiri untuk menghentikan getarannya. Tampak 2 garis merah muda di sana. Sambil menahan nafas aku melihat kembali kemasan test-pack yang kuletakkan di tepi bak mandi, kubaca petunjuknya.
1 garis merah muda berarti negatif, artinya Anda tidak hamil.
2 garis merah muda berarti positif, artinya Anda hamil.

Hatiku mencelos, kubaca lagi kemasan test-pack itu, kulihat lagi strip putih itu, 2 garis merah muda. Kubaca sekali lagi, berharap aku salah membaca petunjuknya, tapi yang terbaca tetap sama. Mendadak tubuhku menggigil hebat, semburan air es mengalir di setiap tulang dan syaraf tubuhku, dan aku pun bersandar pada dinding kamar mandi, merosot hingga kuterduduk di lantai kamar mandi yang dingin. Strip putih dan kemasan test-pack itu tergeletak di lantai di hadapanku.

Aku hamil! Apa yang harus kulakukan? Padahal seluruh keluargaku menentang hubungan kami. Bagaimana dengan kuliahku? Berbagai pikiran berkecamuk di pikiranku. Sepertinya tidak ada jalan keluar dari situasi ini. Seandainya saja bumi tiba-tiba terbelah dan menelan diriku, seandainya saja tiba-tiba jantungku berhenti berdetak detik ini juga, seandainya saja….

Ketakutan mulai menyergap diriku, rasanya tak sanggup aku menghadapi keluargaku. Kekecewaan, kemarahan, aib yang akan kuberikan pada keluargaku. Padahal selama ini aku selalu membanggakan mereka, meraih prestasi gemilang di bidang akademis , aktif di berbagai organisasi, reputasi dan tingkah laku tak bercela sebagai anak teladan di seluruh keluarga besarku. Sekarang, aku akan mencoreng muka orang tuaku dengan jelaga aib yang takkan terhapuskan.

Aku terlonjak ketika seseorang mengetuk pintu kamar mandi.
“Woi! Cepetan! Mandi apa tenggelem? Lama amat!” suara adikku .
“I…Iya…Iya sebentar!” sahutku seraya membereskan barang-barang bukti berupa strip test-pack dan kemasannya yang berserakan di lantai kamar mandi. Kuselipkan semuanya di balik karet celana dalamku. Untung aku mengenakan daster yang longgar sehingga tidak tampak apapun dari luar.

Aku keluar dari kamar mandi disambut oleh wajah kesal adikku.
“Uuh… Lama amat sih! Gue udah kebelet nih!” ujarnya sambil memberengut.
Tanpa membalas omelannya seperti yang biasa pasti kulakukan, aku cepat-cepat masuk ke kamar dan menutup pintu. Aku tidak berani mengunci pintu karena itu adalah aturan di rumah ini. Pernah sekali waktu aku masih duduk di sekolah dasar aku iseng mengunci pintu kemudian aku ketiduran. Kebetulan ibuku datang dan membuka pintu kamarku. Demi dijumpainya pintu terkunci, beliau menggedor pintu dan jendela kamarku sampai kuterbangun. Begitu pintu dibuka, beliau memarahiku dengan sangat sambil menyabeti kakiku dengan rotan. Sejak saat itu tidak aku, tidak kakakku, dan tidak juga adikku, ada yang berani mengunci pintu kamar di rumah ini.

Sambil mencuri-curi pandang ke arah pintu, aku mengeluarkan barang-barang bukti tadi dari balik dasterku. Aku membungkusnya rapat-rapat dengan secarik kertas dan memasukannya ke dalam tas ransel yang biasa kubawa kuliah. Aku akan membuangnya di jalan, tak mau mengambil resiko ketahuan jika aku membuangnya di rumah.

Aku pun duduk di depan meja belajarku, membuka sebuah diktat di hadapanku, agar apabila seseorang melongok ke dalam akan tampak seolah-olah aku sedang belajar. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri dan berpikir. Kutarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Apa yang harus kulakukan? Menghubungi dia! Ya, Itu dia! Pertama-tama aku harus memberitahu kekasihku, kekasih yang tidak disetujui seluruh keluargaku. Kita akan menghadapinya berdua. Seandainya aku diusir pun, kita akan melalui semua ini bersama. Membesarkan anak hasil hubungan kami berdua, membuktikan kepada keluarga bahwa kami sungguh-sungguh dengan hubungan kami. Walaupun kami bersalah karena melakukan hubungan suami istri sebelum menikah, tetapi salahkah kami kalau kami saling mengasihi?

Setelah mengambil keputusan itu, aku pun merasa sedikit tenang. Aku pun segera berganti pakaian, kemudian keluar dari kamar. Aku pamit pada ibuku untuk membeli bolpen ke toko buku. Sambil berjalan perlahan aku menuju pintu keluar, tetapi begitu aku yakin bahwa orang rumah tidak dapat melihatku, aku pun berlari secepat mungkin menuju telepon umum. Dengan tangan bergetar aku memijit nomor telepon rumahnya. Tersambung! Aku menghitung setiap nada panggil dengan gelisah sampai ada sahutan dari ujung sebelah sana. Kakaknya! Kakaknya yang galak dan sinis.

“Halo, bisa bicara dengan Yanto?” jawabku perlahan.
Terdengar suara gagang telepon diletakkan dengan kasar di meja, sayup-sayup terdengar seruan sang kakak memanggil Yanto.

“Halo,” suara yang kutunggu-tunggu itu terdengar agak kesal, “Ngapain telepon? Kan sudah kubilang, aku yang akan meneleponmu. Jangan telepon ke sini!”
“Maaf, tapi ada sesuatu yang harus kusampai…”
“Udah, besok aja ke sini! Jangan telepon lagi!”
Tuuut…tuuut…tuuut…

Perlahan kuletakkan gagang telepon umum itu. Entah kenapa akhir-akhir ini Yanto berubah. Padahal sewaktu awal dia mendekatiku dia begitu baik dan sabar. Sikap dan tutur katanya selalu manis dan penuh pengertian. Bagaimana aku tidak simpati kepadanya? Ia adalah anak bungsu dari 8 bersaudara. Ibunya telah meninggal sejak dia masih SD, dan ayahnya menyusulnya ketika dia berusia 15 tahun. Dia pun putus sekolah dan sempat salah bergaul sehingga pernah terjerumus ke dalam kehidupan malam. Minuman keras dan obat-obatan terlarang serta seks bebas pernah dijalaninya. Itulah sebabnya keluargaku melarangku berhubungan dengannya. Entah mengapa orang-orang tidak mau memberinya kesempatan kedua. Padahal dia ingin berubah dan hidup benar. Kasihan Yanto. Hanya aku lah satu-satunya orang yang mau mengerti dan mendukungnya.

Sambil berjalan pulang aku memikirkan perubahan yang terjadi padanya akhir-akhir ini. Kapankah hal ini mulai terjadi? Sejak dia berhasil memaksaku melakukan hubungan suami istri dengannya. Wajahku memanas mengingat kejadian itu. Mulanya ia merayu dan mencumbuku di kamarnya ketika rumah kakaknya sedang sepi. Ketika aku menolak melayaninya lebih jauh dia membujukku dan berjanji tidak akan sampai melakukan hubungan intim denganku. Akan tetapi ketika aku lengah dia melakukannya padaku. Aku menangis di pelukannya. Dia meminta maaf dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Dia juga berjanji tidak akan meninggalkanku untuk selamanya dan tidak akan menyia-nyaiakan kebaikan dan kepercayaanku padanya.

Tetapi nyatanya sejak saat itu ia berkali-kali melakukannya lagi. Katanya toh, tidak ada bedanya setelah yang pertama kali. Nah, sejak itulah ia mulai berubah. Ia jadi tidak sabaran dan kasar. Tetapi setiap habis memukulku dia selalu meminta maaf dan memanjakanku. Mungkin aku harus memaklumi latar belakangnya yang kurang kasih sayang dari orang tua dan kakak-kakaknya.

Selain itu ia mulai banyak permintaan, mulai dari sepatu boot kulit sampai tape compo. Memang aku sering kasihan melihat barang-barang miliknya yang sangat sedikit, hingga akhirnya aku selalu menuruti kemauannya, menyisihkan uang saku dan uang makanku untuk ditabung sehingga bisa membelikan barang-barang yang selama ini tak pernah dimilikinya. Walaupun seringkali barang-barang yang kubelikan pun dijualnya lagi ketika ia membutuhkan uang, entah untuk apa karena aku tidak berani menanyakannya. Kadang aku curiga bahwa ia mulai menjalankan lagi kehidupan malamnya karena aku pernah melihat beberapa butir pil yang mencurigakan di kamarnya, tetapi ia bilang kalau itu adalah obat sakit perut yang diberikan oleh kakak perempuannya.

Hal lain yang berubah adalah aku tidak diperbolehkannya berteman. Satu persatu temanku diteror dan diajak ribut, sehingga akhirnya mereka pun enggan berhubungan lagi denganku. Ada beberapa teman dekat yang masih mencoba menghubungiku, tetapi pernah sekali Yanto memergokiku menerima telepon dari seorang sahabatku, ia memarahiku habis-habisan, bahkan sempat menamparku. Sejak saat itu akulah yang berinisiatif menghindari teman-temanku agar tidak membuat Yanto marah. Menurutnya teman-temanku membawa pengaruh buruk dan sok kaya semua serta tidak menghargainya.

Akhirnya aku pun tiba di rumah. Kembali aku menutup pintu kamar dan pura-pura belajar. Diam-diam aku meremas-remas perutku yang masih rata, berharap keajaiban terjadi dan ternyata aku tidak hamil, berharap tiba-tiba saja datang bulanku yang sudah terlambat sebulan tiba-tiba keluar saat itu juga. Aku mulai berdoa tanpa suara, suatu hal yang sudah sangat lama tak kulakukan. Kerongkonganku tercekat dan aliran air mata yang panas mengalir dari sudut mataku. Sementara bibirku terkatup rapat, hatiku menjerit pada Sang Kuasa, “Tuhan…. Ampuni hamba-Mu ini Tuhan…. Entah dosa apa yang telah kuperbuat… Aku takut Tuhan… Aku takut… Tolong aku Tuhan… Tolong aku….”

Keesokan harinya, dengan alasan ada rapat himpunan, begitu selesai kuliah aku langsung pergi ke rumah Yanto. Sesampainya di sana, kujumpai kekasihku sedang tidur-tiduran sambil merokok di kamarnya, padahal kebiasaan merokok itu sudah ditinggalkannya sejak berpacaran denganku.
“Ada apa sih? Pake telepon segala!” dia menyambut kedatanganku dengan omelan.
“Yan…” ragu-ragu aku menjawab sambil duduk di sampingnya di tempat tidur.
“Apa sih? Ngomong aja susah bener!” ujarnya sambil tangannya mulai menggerayangi pahaku.
Dengan lembut aku menahan tangannya, “Yan, ada sesuatu yang harus kita bicarakan.”
“Ih! Rese! Apaan sih? Ngga boleh apa gue pegang elo?” Yanto tampak kesal dengan penolakanku.
“A…Aku…Aku hamil Yan,” akhirnya aku mengucapkannya.

Yanto langsung melompat berdiri. Sambil mondar-mandir di kamarnya yang sempit dia memaki-makiku.
“Dasar goblok! Kenapa bisa hamil? Kata elo tanggalnya aman?” Yanto menuding hidungku dengan telunjuknya.
“Salah kali? Jangan cari gara-gara lo yah!” kali ini Yanto mendorong dahiku dengan ujung jari telunjuk yang sama.
Tiba-tiba Yanto terdiam seakan-akan mendapat inspirasi, “Ooh, gue tau. Elo tidur sama cowok laen kan? Nih anak bukan anak gue kan? Dasar perek lo! Ngaku-ngaku masih perawan ngga taunya perek lo!”
Aku menggeleng-geleng tanpa dapat berkata-kata. Air mata mengalir deras di pipiku.
“Yanto, ini sungguh anak kita. Tak seorang pria pun pernah menyentuhku selain kamu. Sumpah Yan!” aku berusaha memegang lengannya, tetapi dengan kasar Yanto menyentakkan lengannya bahkan mendorongku hingga terjatuh dan membentur tempat tidurnya.

Aku menangis sejadi-jadinya sementara Yanto pergi keluar kamar dan membanting pintunya. Mengapa jadi seperti ini? Apa jadinya dengan anak kami?

Di tengah deraian air mata aku melihat silet yang biasa dipakai Yanto untuk bercukur. Tanpa berpikir aku mengulurkan tangan meraihnya. Telingaku pekak oleh suara dengungan keras, pandanganku kabur karena air mata, dan tubuhku berguncang keras karena isak tangisku. Dengan perasaan kebas kuangkat tangan kiriku, kusayat pergelangannya dalam-dalam. Dan entah kerasukan setan apa, kusayat pergelangan tanganku sekali lagi, dan sekali lagi.

Anehnya, perasaanku sedikit lebih tenang setelah melakukannya, hampir-hampir damai rasanya, dan pikiranku mendadak jernih. Kumasukkan tangan kiriku yang berlumuran darah ke dalam tas yang kubawa. Tak ingin meninggalkan jejak, masih sempat kuhapus ceceran darahku di lantai kamar Yanto dengan selembar kertas tissue. Kemudian aku pun bangkit dan dengan tangan di dalam tas terhuyung keluar. Aku berencana untuk pergi ke suatu tempat yang sepi, di mana tak seorang pun akan menemukanku dan bayi dalam kandunganku. Agak gamang dan sedikit pusing, namun itu bukan suatu perasaan yang tidak menyenangkan, rasanya seolah-olah aku melangkah di awan-awan yang lembut.

Aku berhasil keluar rumah dan mulai berjalan menyusuri gang menuju jalan besar ketika tiba-tiba seseorang menyentakkan bahuku. Ternyata Yanto. Rupanya dia pergi menelepon kakak perempuannya dan sekembalinya ke rumah kakaknya yang galak memberitahunya bahwa aku pergi dengan wajah yang mencurigakan.

Demi dilihatnya wajahku yang pucat, matanya menelusuriku sampai ke tanganku yang berada di dalam tas. Aku berusaha melawan saat dia menarik tanganku dari dalam tas, tapi dia terlalu kuat. Begitu melihat tanganku yang berlumuran darah dia langsung mengumpat. Sambil setengah menyeret setengah mengangkatku, dia membawaku kembali ke rumahnya.

Kakaknya ternyata sudah menunggu dengan kunci motor di tangannya, yang langsung diserahkannya kepada Yanto,” Bawa ke dokter Ade aja yang deket! Cepet!”

Kejadian berikutnya agak kabur di ingatanku. Samar-samar aku masih ingat perjalanan naik motor. Sekali, hampir aku terjatuh, untung Yanto sempat mengerem dan memegangiku. Akhirnya kami sampai di dokter dan aku pun memperoleh beberapa puluh jahitan di pergelangan tanganku.

Sesampainya kembali di rumah kakaknya, Yanto mengajakku bicara. Kakak perempuan dan kakak laki-lakinya semua memarahinya. Tak kusangka kalau mereka ternyata memperhatikanku.
Yanto membujukku untuk menggugurkan bayi dalam kandunganku. Dia belum siap menghadapi keluargaku ataupun membiayai si bayi. Dengan alasan demi status dan masa depan sang bayi yang tidak menentu akhirnya dengan berat hati aku setuju untuk menggugurkan bayi ini.

Keesokan harinya di rumahnya, Yanto memberiku nanas muda, 4 butir semuanya. Masih berwarna hijau pucat, besarnya pun hanya sebesar kepalan tanganku. Dia memaksaku menghabiskan semuanya. Rasanya hambar dan kesat, sampai perih lidahku memakannya karena banyak getahnya. Menurut orang-orang nanas muda adalah cara yang paling ampuh untuk menggugurkan kandungan karena sifatnya yang tajam.

Hari demi hari berlalu, aku berhasil menyembunyikan luka di pergelangan tanganku dengan selalu memakai pakaian lengan panjang. Tapi, tidak ada tanda-tanda kalau aku akan mengalami keguguran. Tidak ada pendarahan, tidak ada kontraksi rahim, tidak ada apapun.

Beberapa hari kemudian Yanto memberiku sebotol besar jamu peluntur. Aku harus meminumnya segelas setiap pagi dan sore sampai kandunganku luntur. Rasanya sangat memuakkan. Perasaan mual yang dialami wanita yang sedang hamil muda, ditambah harus meminum jamu yang memuakkan itu hampir tak tertahankan. Dengan susah payah aku menahan rasa mual dan dorongan ingin muntah agar keluargaku tidak curiga.

Sampai seluruh isi botol itu habis kuminum, masih tidak ada tanda-tanda aku akan mengalami keguguran. Betapa kuatnya anak ini. Sering di malam hari aku menangis sendiri sambil mengelus perutku, membayangkan seperti apakah wajah anak ini apabila ia terlahir ke dunia. Jagoan cilikkah? Gadis mungilkah?

“Maafin Mama ya sayang… Mama sayang kamu…” aku berbisik lirih, mengajaknya berbicara setiap malam, dan firasatku mengatakan anak ini tumbuh semakin kuat dan besar dari hari ke hari, walaupun aku terus memasukkan berbagai macam “racun” ke dalam tubuhku untuk mengeluarkannya dengan paksa.

Seminggu setelah itu Yanto akhirnya memutuskan untuk melakukan aborsi. Menurutnya tak ada jalan lain karena anak ini tak juga mau keluar meski sudah didera dengan nanas muda, jamu, dan beberapa obat-obatan lain yang sempat kumakan setiap ada pihak yang memberi masukan kepadaku mengenai cara menggugurkan kandungan.

Setelah mencari informasi ke sana ke mari, akhirnya Yanto menemukan seorang dokter yang bersedia melakukan aborsi di tempat prakteknya siang hari sebelum jam praktek. Sejumlah uang yang disepakati sebagai biayanya pun sudah berpindah tangan (diam-diam aku menarik tabunganku di bank. Orang tuaku pasti murka apabila mengetahuinya).

Pada hari yang ditentukan, aku membolos kuliah untuk pergi ke tempat praktek sang dokter ditemani Yanto. Sedari pagi hati nuraniku berontak. Tidak tenang dan gelisah rasanya. Yanto berusaha menenangkanku dengan mengatakan kalau aku cuma gugup dan segalanya akan segera beres. Ia tampak tidak sabar ingin semuanya segera berakhir.

Di tempat prakteknya, dokter mempersilahkan kami masuk. Aku pun diperintahkannya untuk mengganti pakaianku dengan pakaian untuk operasi. Setelah itu dokter memberiku suntikan anestesi di lengan, tepatnya di lipatan siku setelah terlebih dahulu menentukan letak nadiku.

Sambil menunggu aku tertidur, dokter mulai membersihkan daerah vaginaku dan menyiapkan alat-alat. Setelah selesai dokter memandangiku dengan alis berkerut.
“Belum ngantuk?” tanyanya.
“Belum,” jawabku bingung karena aku tak merasakan kantuk sedikitpun.
“Kurang kali obat biusnya dok?” Yanto nimbrung mengomentari.
“Tidak mungkin. Dengan dosis segitu biasanya pasien sudah tertidur dalam waktu kurang dari 5 menit,” jawab dokter.
“Tambahin aja dok,” kata Yanto lagi.
“Wah! Saya tidak berani, bagaimana kalau over dosis?” dokter tampak semakin bingung.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya dokter mengambil keputusan, “Kalau begitu operasinya sadar saja ya?”
“Hah!?” aku yang sedari pagi memang tegang sangat terkejut mendengar keputusan ini.
“Emang ngga papa dok?” tanyaku khawatir.
“Ngga papa, cepat kok, paling sakit sedikit. Lagipula siapa tau sebentar lagi anestesinya bekerja,” dokter berkeras sambil mulai mempersiapkan alat-alat.

Hatiku berdebar sangat keras. Batinku berperang karena aku merasa Ini adalah suatu tanda, yang kesekian kalinya, Tuhan memperingatkanku bahwa aku tidak seharusnya membunuh bayiku sendiri.

Sementara itu dokter sudah memasukkan spekulum ke vaginaku dan mulai memasukkan beberapa alat kedalam rongga tubuhku. Rasanya ngilu. Aku panik. Dan di saat itulah aku mengambil keputusan.
“Dok! Aku mau membatalkan aborsi! Ngga jadi aja dok!” aku hampir berteriak.
“Tidak bisa dong, ini sudah setengah jalan. Tidak akan lama kok,” dokter tampak terkejut mendengar perkataanku. Sementara Yanto tampak kaget dan bengong karena tidak menyangka keputusanku yang mendadak itu.
“Ngga dok! Aku memutuskan akan memelihara anak ini.” Aku berusaha bangkit dari posisiku yang setengah berbaring.
“Eh! Gimana sih? Jangan bergerak dulu dong,” dokter kini terlihat kesal dengan keputusanku. Mungkin dia takut aku akan mengambil kembali uang yang jumlahnya cukup besar yang telah diterimanya untuk melakukan aborsi ini.
Yanto pun bergerak mendekat dan memegangi bahuku agar kembali berbaring. Aku ketakutan. Dalam hati aku menjerit, “Tuhan, tolong! Tolong bayiku!”

Detik itu juga tiba-tiba aliran listrik terputus. Semua lampu padam, mesin pompa untuk menyedot janinku pun mati. Kami bertiga memandang ke atas ke arah lampu yang padam, kemudian aku memandang dokter.

Dokter menghela nafas panjang, akhirnya dia menyerah.
“Ya sudah, kalau begitu batal ya batal,” ia pun mulai mencabuti alat-alat dari dalam tubuhku.

Aku berbaring di sana, air mata mengalir perlahan dari sudut mataku. Tetapi hatiku ringan sekali. Tak kupedulikan raut wajah Yanto yang keras dan tampak sangat marah, tak kupedulikan pula seandainya uang biaya untuk aborsi tidak kembali padaku. Rasa sakit? Entahlah, aku sudah tidak merasakannya lagi. Aku sudah memutuskan akan memberitahu keluargaku tentang bayi yang kukandung ini. Dan aku akan memeliharanya sebaik mungkin, dengan atau tanpa dukungan Yanto dan keluargaku. Meski mungkin bayi ini akan lahir cacat karena begitu banyaknya usaha yang sudah kulakukan untuk menggugurkannya, meski mungkin Yanto tak mau menikahiku dan keluargaku yang terpandang mungkin akan mengusirku. Aku akan menjaganya dengan segenap kekuatanku, karena ia tak bersalah dan tak pernah minta diciptakan. Mungkin Tuhan mengirimkan bayi ini untukku, sehingga akhirnya aku memiliki seseorang untuk kucintai dan mencintaiku dengan seutuhnya…

Setelah mengambil keputusan ini, perasaanku terasa tenang, nuraniku tak lagi bergolak dan entah dari mana, keberanianku timbul untuk menyongsong masa depan bersama dengan bayiku. Terima kasih….Terima kasih Tuhan……

Based on true story... Puji Tuhan anak yang dikandung tokoh di atas lahir dengan sehat dan selamat tanpa kekurangan suatu apa pun :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar