Rabu, 23 Juni 2010

Petualangan Jonah

Ini adalah sebuah kisah tentang seekor anak tupai bernama Jonah. Jonah tinggal di dalam sebuah lubang pada sebatang pohon kenari bersama ayah dan ibunya di taman kota. Sebenarnya, Jonah adalah seekor anak tupai yang baik. Ia selalu mau membantu dan selalu ingin menyenangkan orang lain.Akan tetapi entah kenapa ia sering sekali dimarahi. Yahh, memang tupai dewasa itu sulit dimengerti. Jonah juga sering mengalami kecelakaan-kecelakaan yang sepertinya selalu menimpanya. Tapi toh sampai sekarang Jonah masih sehat dan giat berlompatan dari pohon ke pohon, jadi itu bukan masalah kan?

Hari itu Jonah akan pergi bermain ke kolam kecil di tengah taman.
“Bu, aku mau bermain dengan Toby di kolam!” seru Jonah
“Hati-hati Jonah, jangan dekat-dekat air!” ibunya balas berseru dari dalam rumah mereka.
“Baik Bu!” Jonah menyahut sambil melompat ke pohon sebelah. Karena melompat sambil menoleh, Jonah tidak melihat arah tujuannya dan… BUK! Jonah menabrak dahan tempat di mana ia seharusnya mendarat. GEDEBUG! Jonah jatuh telentang di tanah, untung tanah itu berumput tebal.
“Jonah! Kau jatuh lagi?!” Ibu Jonah menjulurkan kepalanya dari lubang tempat tinggal mereka.
“Tak apa-apa, Bu!” Jonah menjawab sambil meringis dan menggosok-gosok pinggangnya yang sakit. Ibu Jonah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil masuk kembali ke dalam rumah.

Jonah berlari-lari kecil ke arah kolam. Ia sudah berjanji untuk bertemu Toby, si katak kecil. Sesampainya di tepi kolam ternyata Toby belum kelihatan lubang hidungnya sekalipun. Maka Jonah pun duduk di rumput, mengingat pesan ibunya untuk tidak terlalu dekat ke air.

Tak lama kemudian Toby pun mulai merasa bosan. Ia mulai melemparkan bebatuan kecil yang banyak berserakan di sana ke tengah kolam. Mulanya Jonah hanya melempar asal-asalan, lama-kelamaan ia mulai menetapkan target. Pertama-tama rumpun gelagah di tepi air. Kena! Kemudian seonggok batuyang mencuat di permukaan air. Kena! Lalu daun teratai hampir di tengah kolam. Tidak kena! Jonah penasaran. Ia bangkit dari duduknya dan mencoba lagi.Aduh! Kurang sedikit lagi! Dicobanya maju satu langkah dan ia melempar lagi. Tidak kena! Kini Jonah benar-benar gregetan. Diambilnya sekeping batu, ia melangkah mundur beberapa langkah, mengambil ancang-ancang, dan sambil berlari Jonah melempar batu itu sekuat-kuatnya. Horeee, kena! Celakanya Jonah lupa mengerem larinya dan JEBUUURR! Jonah tercebur ke dalam kolam.

“Tolong! Blep blep! Tolong!” Jonah berusaha mempertahankankepalanya di atas permukaan air. Untunglah saat itu Toby muncul dari dalam air. Cepat-cepat ditariknya Jonah ke atas daun teratai terdekat. Fiuhh! Untung tepat pada waktunya.

Keduanya terengah-engah di atas daun yang cukup lebar itu.
“Aduh Toby, terima kasih ya! Hampir saja aku tenggelam. Untung kau datang pada saat yang tepat,” kata Jonah sambil memeras air pada ekornya yang lebat.
“Sama-sama Jonah, tapi aku punya kabar buruk. Kita tidak bisa main hari ini. Ibu menyuruh aku mengantarkan akar teratai ini untuk diramu di tempat Pak Tikus Tanah. Setelah itu aku harus mengantarkannya ke rumah Bu Murai untuk mengobati anakny yang sedang sakit.” Kata Toby sambil menunjukkan benda yang sedari tadi dibawanya, “Kemarin Bu Murai datang untuk minta tolong pada ibuku.”
“Ya sudah, aku ikut kamu saja mengantarkan akar teratai itu, nanti aku akan membantumu memanjat ke sarang Bu Murai,” sahut Jonah bersemangat.
“Wah, ide bagus tuh!” senyum lebar merekah di wajah Toby yang memang bermulut lebar itu.

Maka Toby pun kembali terjun ke air. Dari bawah air ditariknya batang daun teratai itu sampai ke tepi kolam sehingga Jonah bisa melompat ke darat.

Kemudian sambil bercengkrama kedua sahabat itu pun mulai menyusuri jalan setapak ke lubang tempat tinggal Pak Tikus Tanah di bawah gerumbul semak tak jauh dari sana.

Sesampainya di gerumbul semak yang dituju, mereka mulai mencari-cari lubang pintu rumah Pak Tikus Tanah.
“Di mana ya? Aduh, aku lupa nih,” Toby sibuk menyibakkan semak-semak di sekitar tempatnya berdiri.

Sementara itu Jonah berusaha ikut mencari. Ia sedang sibuk menyibakkan semak-semak di sekitarnya ketika kakinya tersandung sebuah kerikil yang mencuat dari dalam tanah. Ia pun jatuh terguling-guling sampai…. PLOK! Kepala hingga bahunya terperosok ke dalam sebuah lubang di tanah. Jonah bertatapan dengan Pak Tikus Tanah yang sangat terkejut ketika tiba-tiba kepala seekor tupai muncul dari atas kepalanya.

“Aku menemukannya!” dengan girang Jonah berseru sambil mencoba mencabut bahunya dari lubang pintu rumah Pak Tikus Tanah. Pak Tikus Tanah pun berusaha mendorong kepala Jonah keluar dari rumahnya sambil mengomel.
“Ada-ada saja! Anak-anak jaman sekarang, hmph… mengagetkan orang tua, hmph…!! Untung jantungku masih kuat, hmppffhhh!!!” PLOK!! Kepala Jonah pun terlepas dari lubang itu. Pak Tikus Tanah memanjat keluar dari liangnya, menghampiri Jonah yang sedang menggosok-gosok bahu dan lehernya.

“Apa-apaan sih kau! Apa tidak bisa lebih sopan masuk ke rumah orang?” Pak Tikus Tanah langsung memarahi Jonah. Sementara Toby melompat-lompat bergegas menghampiri mereka.
“Maaf Pak Tikus Tanah, aku tidak sengaja,” kata Jonah sambil tersipu malu.
“Pak Tikus Tanah! Maaf, Jonah sedang membantuku mencari rumah Anda ketika ia tersandung dan terperosok tepat ke dalam rumah Anda,” Toby buru-buru menambahkan.
“Uh! Ya sudahlah! Ada apa kalian mencari aku?” akhirnya Pak Tikus Tanah memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi omelannya.
“Anu, ini Pak, Bu Murai anaknya sakit. Kemarin beliau meminta akar teratai pada ibuku untuk mengobati anaknya. Jadi, ibu menyuruhku membawa akar teratai ini untuk Anda ramu sebelum diberikan kepada Bu Murai,” Toby menjelaskan panjang lebar sementara Jonah mengangguk-angguk mendukung cerita Toby.
“Sayang sekali anak-anak, aku tidak dapat membantu kalian. Batu penggiling obatku hilang,” kata Pak Tikus Tanah sambil mengangkat bahu.
“Hilang?! Kok bisa hilang? Hilang di mana?” Toby dan Jonah bertubi-tubi mengajukan pertanyaan.
“Aaahh! Dasar nasibku yang apes. Waktu itu aku sedang menggosok batuku seperti yang biasa kulakukan dengan kelopak bunga tulip di petak bunga dekat pintu gerbang taman. Tiba-tiba seorang anak manusia melihatku dan berusaha menangkapku. Buru-buru aku lari dan bersembunyi. Ketika aku kembali untuk mencarinya, aku tak dapat menemukannya di mana pun,” Pak Tikus Tanah bercerita dengan ekspresi pasrah.
“Biar kami membantu Anda mencarinya, siapa tahu kami dapat menemukannya,” celetuk Jonah. Seperti biasa dia selalu ingin membantu.
“Yah, terserah kalian lah,” Pak Tikus Tanah melengos masuk ke liangnya untuk melanjutkan lamunannya yang sempat terputus saat kepala Jonah muncul di lubang pintu rumahnya.

Jonah dan Toby berpandang-pandangan dengan ekspresi serius. Kemudian mereka pun memulai perjalanan mereka. Mereka merasa bahwa perjalanan ini adalah suatu petualangan, suatu misi yang harus mereka selesaikan.

Sesampainya di petak bunga yang dimaksud, mereka mulai mencari batu itu.
“Seperti apa ya bentuknya?” Tanya Toby.
“Ah iya! Kita lupa menanyakannya pada Pak Tikus Tanah!” seru Jonah sambil menampar dahinya sendiri, yang ternyata terlalu keras.
“Aww!” teriaknya sambil mengusap-usap dahinya yang terasa pedih dan panas.
“Kita coba saja mengumpulkan beberapa batu yang tampak seperti batu penggiling. Yang jelas pasti batu yang istimewa,” usul Toby.
“Benar! Siapa tahu salh satunya adalah batu penggiling Pak Tikus Tanah,” kata Jonah bersemangat.

Dan mereka pun mulai mengumpulkan beberapa batu yang menurut mereka cocok dan pantas untuk menjadi batu penggiling obat. Ada batu yang pipih dengan permukaan seperti kertas hampelas, ada batu yang berbentuk seperti palu, ada pula batu berwarna hijau yang dipenuhi titik-titik yang menyerupai Kristal, dan banyak lagi batu-batu dengan berbagai bentuk dan tekstur.

Di salah satu sisi petak bunga itu mereka melihat seekor kumbang sedang duduk termenung di aas sehelai rumput.
“Hai Bu Kumbang, sedang apa? Kok termenung sendirian?” sapa Jonah dan Toby dengan sopan.
“Oh, hallo anak-anak. Aku sedang bingung karena sejak kemarin aku tidak dpat masuk ke dalam rumahku. Ada yang menyumbat pintu masuknya. Padahal aku hanya meninggalkannya sebentar untuk menjemur koleksi manik-manikku. Sedihnya lagi, manik-manik kesukaanku kini ikut hilang. Pasti ada yang mengambilnya karena aku memang sempat meninggalkannya untuk mengambil manik-manik lainnya di rumahku.” Wajah Bu Kumbang tampak sangat memelas. Diperlihatkannya koleksi manik-maniknya yang berwarna-warni yang terkumpul dalam satu gundukan di tanah di dekatnya. Bu Kumbang memang memiliki hobi mengumpulkan manik-manik yang kadangkala tercecer dari pakaian atau saku manusia yang berjalan-jalan di taman itu.
“Kesayanganku adalah yang berwarna merah muda. Sekarang tidak ada lagi. Kenapa yang diambil justru yang itu ya?” keluhnya sambil menghela napas panjang.

“Jangan khawatir Bu kumbang, kami akan menolong Anda mengangkat sumbatan dari rumah Anda,” Jonah serta merta menawarkan bantuannya.

Jonah dan Toby pun menghampiri pintu rumah Bu Kumbang dan mengintip ke dalamnya. Dan benarlah, lubang itu tersumbat oleh sebutir batu bulat berwarna kehitaman. Mereka pun mencoba mengorek dan mengangkat batu itu. Tetapi ternyata sumbatannya rapat sekali. Sedikitpun batu itu tak bergeming.
“Bagaimana cara kita mengangkatnya?” Toby menggaruk-garuk kepala botaknya yang sebenarnya tidak gatal itu.
“Sepertinya kita harus menggunakan semacam tuas untuk mengungkitnya,” kata Jonah.
“Benar juga,” Toby mengangguk-angguk setuju.

Setelah mencari-cari, akhirnya mereka menemukan sepotong ranting. Mereka pun memasukkan ranting itu ke celah di antara batu dan liang rumah Bu Kumbang. Kemudian mereka mencoba mngungkitnya bersama-sama.

Toby mulai memberikan aba-aba,” Satu…Dua… Tigaa!!”
“Hmmpphh!!” KRAK! Ranting itu pun patah.
“Wah! Tidak berhasil, bagaimana dong?” kembali Toby menggaruk-garuk kepalanya, kali ini dengan kedua tangannya.

Jonah melipat tangan di dada sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan jari telunjuknya. Dahinya berkerut dan bibirnya manyun sedikit. Wah, persis seperti seorang professor yang sedang memecahkan sebuah rumus yang sangat rumit saja tampaknya.
“Aku tahu!” serunya tiba-tiba, membuat Toby yang sedang asyik berpikir terlonjak karena terkejut.
“Apa? Bagaimana?” seru Toby.
“Mungkin kita harus mengungkitnya dari dua sisi secara bersama-sama,” kata Jonah.
“Benar juga. Ayo kita coba,” Toby langsung melesat untuk mencari ranting yang dapat digunakan untuk mengungkit batu itu.

Setelah keduanya memperoleh ranting yang cocok dan kuat, mereka mulai menyelipkannya di sisi-sisi batu penyumbat itu. Sementara itu Bu Kumbang sedari tadi asyik menonton kedua anak muda itu bekerja. Tampaknya untuk sesaat ia melupakan koleksi manik-maniknya.
“Siap? Satu…Dua… Tigaa!!” kembali Toby menyerukan aba-aba.
“Hmmppfff!!!” dan batu itu pun mulai terangkat sedikit demi sedikit.
“Berhasil! Ayo anak-anak, sedikit lagi!” Bu Kumbang melonjak-lonjak girang di atas heli rumput yang didudukinya.
“Hmmppfff!!!” dan… BLUG! Batu itu pun terangkat keluar dan bergulir di tanah.

“Horee!!!” Bu Kumbang meluncur turun dan mereka bertiga menari-nari kegirangan sambil bersorak-sorak.
“Terima kasih anak-anak. Sekarang aku bisa pulang,” suara Bu Kumbang yang kecil melengking meningkahi tarian mereka.
“Sama-sama Bu Kumbang. Kalau begitu kami pamit dulu Bu. Kami masih harus memberikan batu-batu ini pada Pak Tikus Tanah,” mereka pun berpamitan. Batu penyumbat rumah Bu Kumbang pun mereka bawa karena mereka khawatir batu itu akan menyumbat rumah Bu Kumbang lagi.

“Ini anak-anak, bawalah manik-manik biru ini sebagai tanda terima kasih atas bantuan kalian,” kata Bu Kumbang seraya menyerahkan sebuah manik-manik kecil berwarna biru berkilauan.
“Baiklah, terima kasih Bu,” Jonah dan Toby menerimanya karena tak sopan untuk menolak ucapan terima kasih seseorang bukan?
Dan mereka pun melangkah kembali ke rumah Pak Tikus Tanah.

Sesampainya di rumah Pak Tikus Tanah mereka berseru-seru memaggil Pak Tikus Tanah.
“Pak Tikus Tanah, keluarlah! Lihatlah batu-batu ini!” Pak Tikus Tanah pun melongokkan kepalanya dari dalam tanah. Dilihatnya sekilas batu-batu dalam pelukan tangan Toby dan Jonah. Tiba-tiba matanya melebar dan berbinar. Dengan gesit ia melompat keluar dan berlari menghampiri mereka.

“Batuku, oh batuku sayang!” dendang Pak Tikus Tanah sambil merenggut batu penggiling obatnya dari tumpukan batu di pelukan Jonah. Jonah dan Toby saling berpandangan dengan terkejut. Mereka memandangi tumpukan batu-batu yang aneh-aneh di tangan mereka kemudian memandang Pak Tikus Tanah yang sedang mengelus-elus batu hitam penyumbat rumah Bu Kumbang dengan penuh kasih sayang. Mulut Toby membentuk huruf A dan mulut Jonah membentuk huruf O tanpa mengeluarkan suara apapun untuk beberapa detik. Keduanya mengangkat bahu dan membuang batu-batu aneh yang telah mereka kumpulkan tadi.

“Baiklah! Mana akar teratainya? Aku dapat meraciknya sekarang,” Pak Tikus Tanah yang ada di hadapan mereka sekarang sungguh berbeda dengan Pak Tikus Tanah yang menjumpai mereka sebelumnya. Toby pun memberikan akar teratai yang dibawanya kepada Pak Tikus Tanah.

“Coba katakan kepadaku apa penyakit anak Bu Murai itu?” kata Pak Tikus Tanah.
“Mmm… kalau tidak salah, Bu Murai bilang sejak kemarin anaknya tak mau makan dan berbaring terus. Ia juga tak mau bergerak dan tak mau bicara,” papar Toby sambil mengingat-ingat ucapan Bu Murai.
“Hmm… baiklah!” Pak Tikus Tanah mulai bekerja. Di atas sekeping batu yang agak cekung permukaannya, dipecahkannya potongan akar teratai yang dibawa Toby. Kemudian ia berlari masuk ke dalam rumahnya. Tak lama kemudian ia kembali dengan berbagai bahan yang tampak seperti umbi-umbian, dan akar-akaran serta dedaunan kering di tangannya. Ditaruhnya semua bahan-bahan itu di atas batu bersama akar teratai tadi. Kemudian dengan batu penggiling saktinya digilingnya semua bahan-bahan itu. Tak lama kemudian jadilah ramuan obat itu. Pak Tikus Tanah membungkusnya dengan sehelai daun, lalu memberikannya kepada Toby dengan senyum puas di wajahnya,” Nah! Anak murai itu kini akan sehat kembali.”

“Terima kasih Pak Tikus Tanah,” Jonah dan Toby menyahut berbarengan.
Sesudah itu keduanya pun melanjutkan perjalanan mereka ke rumah Bu Murai di pohon ceri di sisi lain dari taman itu. Untunglah perjalanan mereka boleh dibilang lancer. Sepanjang jalan Jonah hanya tersandung dua kali dan tertimpa kenari jatuh satu kali saja.

Akhirnya mereka pun sampai di bawah pohon tempat tinggal Bu Murai dan anaknya. Mereka mendongak ke atas dan melihat sarang Bu Murai di salah satu dahannya.
GLEK! Toby menelan ludah membayangkan ketinggian dahan itu. “Wah! Bisa tidak ya aku naik ke sana?” ragu-ragu Toby memandang sahabatnya.
“Pasti bisa! Lihat pohon ini begitu berbonggol-bonggol dan banyak dahannya. Kita melompat dari satu tonjolan ke tonjolan berikutnya. Nanti kubantu deh!” Jonah berusaha meyakinkan Toby.
“Baiklah!” Toby pun menguatkan tekadnya.

Kedua sahabat itu mulai memanjat pohon. Jonah duluan, disusul oleh Toby. Di setiap bagian yang sulit Jonah akan mengulurkan tangan dan membantu Toby. Sekali, Jonah terpeleset. Untung Toby sigap menyambar ekor Jonah yang panjang. Jonah pun berhasil menyambar dahan di sebelahnya. Fiuuhh! Hampir saja.

Akhirnya mereka pun sampai di rumah Bu Murai. Tampak Bu Murai sedang menunggui anaknya yang tergolek lemas di sudut sarang.
“Permisi Bu, kami membawakan obat untuk anakmu,” sapa Toby dengan sopan.
“ Oh! Terima kasih anak-anak,” Bu Murai bergegas menghampiri mereka. Segera setelah diterimanya obat itu dari Toby, dibukanya bungkusan daun itu. Bu Murai memasukkan obat itu ke dalam paruhnya, kemudian mulai menyuapi anaknya.

Anak Bu Murai berontak, sayapnya mengepak-ngepak, tetapi tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Bu Murai terus mencoba memasukkan obat itu ke kerongkongan anaknya, tiba-tiba anak Bu Murai terbatuk. Ia mengeluarkan suara seperti tercekik, terbatuk lagi, lalu ia memuntahkan sebutir manik-manik besar berwarna merah muda.

“Ya ampun! Rupanya kau menelan benda itu! Pantas saja kau tidak dapat makan dan berbicara,” Bu Murai mencicit ribut sambil memegangi kepala dengan kedua sayapnya. “Pasti kau mencuri lagi. Sudah berapa kali kukatakan, jangan mencuri! Aduh, hampir mati aku karena khawatir,” Jonah dan Toby tak dihiraukannya sama sekali.

“Maaf Bu,” anak Bu Murai tampak tersipu malu. Tetapi ekspresi wajahnya tampak lega dan ia tak henti-hentinya mengurut-urut lehernya. “Aku berjanji tak akan mencuri lagi Bu. Aku sudah kapok. Kemarin karena terburu-buru, tak sengaja manik-manik itu tertelan olehku. Aku tidak mau mengalaminya lagi.”

“Ehm, Bu Murai, boleh kami membawa manik-manik itu untuk kami kembalikan kepada Bu Kumbang?” Jonah berkata sambil menunjuk manik-manik yang baru saja dimuntahkan oleh anak Bu Murai.

“Oh, tentu saja. Tolong sampaikan maafku pada Bu Kumbang ya anak-anak. Dan terima kasih atas bantuan kalian,” Bu Murai menyerahkan manik-manik merah muda itu kepada Jonah.

Sementara itu anak Bu Murai memandang manik-manik Bu Kumbang dengan sedih. Matanya berkaca-kaca karena mengumpulkan barang-barang yang berkilauan adalah hobinya sejak lama. Manik-manik milik Bu Kumbang adalah temuannya yang tercantik selama ini.

Tiba-tiba Toby teringat sesuatu. Dikeluarkannya manik-manik biru pemberian Bu Kumbang.
“Ini, ambillah. Bu Kumbang memberikannya pada kami, tetapi kami tidak memerlukannya. Mungkin kau mau memilikinya,” kata Toby. Diberikannya manik-manik itu pada anak Bu Murai.

Dengan penuh harap anak Bu Murai memandang ibunya. Bu Murai perlahan mengangguk.
“Horeee! Terima kasih kawan-kawan. Kalian baik sekali,” ujarnya girang sambil menerima manik-manik biru itu dari tangan Toby. “Aku pasti akan merawatnya baik-baik.”

“Sekali lagi terima kasih, anak-anak. Sampaikan juga ucapan terima kasihku pada ibumu, Toby. Besok aku akan membawakan buah ceri untuknya dan Pak Tikus Tanah,” kata Bu Murai.
“Sama-sama Bu. Kami pamit pulang dulu Bu,” sahut Jonah dan Toby.

Mereka pun memanjat turun dari sarang Bu Murai diiringi lambaian anak Bu Murai yang kini telah sehat kembali.

Kedua sahabat itu kemudian mengembalikan manik-manik merah muda kepada Bu Kumbang dan menjelaskan kejadiannya serta menyampaikan permohonan maaf Bu Murai. Bukan main girangnya Bu Kumbang menemukan kembali manik-manik kesayangannya. Hampir saja mereka dihadiahi manik-manik lagi. Tetapi dengan sopan Toby dan Jonah menolaknya karena toh mereka tidak memerlukannya.

Sepanjang perjalanan pulang Jonah dan Toby bercakap-cakap.
“Wah, hari ini petualangan kita mengasyikkan ya?” kata Jonah.
“Betul. Kita juga sudah menolong banyak hewan hari ini,” timpal Toby.
“Lain kali kita berpetualan lagi yuk!” rupanya Jonah masih bersemangat dengan petualangan mereka hari itu.
“Tentu. Tapi sekarang aku harus pulang. Perutku lapar nih,” Toby mengelus-elus perutnya sambil memasang wajah memelas.
“Aku juga harus pulang. Tidak terasa hari sudah siang nih. Nanti ibuku marah kalau aku terlambat pulang,” Jonah mengiyakan.

Mereka pun berpisah di persimpangan jalan. Toby menuju kolam dan Jonah menuju pohon kenari tempat tinggalnya.

Setibanya di rumah, Jonah baru saja melangkah masuk lubang pohon yang merupakan pintu rumah mereka ketika tiba-tiba ibunya berteriak, “Jonaaahhh!!”

Duk! Kepala Jonah terbentur tepi lubang.
“Iya Bu,” sahutnya sambil menggosok-gosok kepalanya.
“Ke mana saja kau seharian? Kau belum membereskan kulit kenari bekas sarapanmu. Setiap hari Ibu harus bla…bla…bla…”
“Yah, mulai lagi deh,” gumam Jonah pasrah.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar