Pagi ini, ketika aku sedang menyiapkan sarapan untuk anak dan suamiku, terdengar suara helaan nafas dan keluhan tertahan dari meja ruang tamu. Kutolehkan wajahku, dan di sana, tampak anak sulungku yang berusia 10 tahun sedang menyelesaikan tugasnya yang belum selesai semalam sambil berkeluh kesah sendiri.
Kebetulan memang semalam ada acara keluarga yang harus kami hadiri sampai malam, sehingga dia tidak sanggup menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya malam itu juga. Karenanya, pagi ini aku membangunkannya setengah jam lebih awal agar dia sempat menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya.
Kuletakkan roti yang sedang kuolesi mentega dan kuhampiri dia.
"Kenapa, Ki?"
"Sebel Ma! Lucky ngantuk! Kenapa sih tugas teh banyak amat? Huh! Tuh kan udah jam setengah tujuh!"
"Loh, kok gitu? Namanya tugas kan memang harus diselesaikan, kamu marah-marah pun ngga bikin tugas kamu jadi tambah sedikit atau jadi lebih cepat selesai kan?"
Lucky hanya duduk cemberut sambil menyelesaikan tugasnya dengan terburu-buru.
"Pelan-pelan dong Ki, kan tulisannya jadi berantakan tuh! Nanti nilai tugasnya jadi jelek gara-gara tulisannya jelek."
"Biarin! Yang penting cepet selesai! Kenapa sih sekarang baru Hari Rabu? Kalau bisa aku maunya setiap hari itu cuman ada hari Sabtu sama Minggu aja, biar bisa main sepuasnya."
"Itu namanya kamu ngga bersyukur Ki. Coba kamu pikir, berapa banyak anak yang pengin sekolah malah ngga bisa sekolah, kamu disekolahin sama Papa Mama kok malah pegin ngga sekolah?"
Lucky hanya terdiam tanpa mengucapkan apa-apa, tetapi secercah rasa bersalah sempat terbersit di wajahnya.
Kemudian entah hikmat dari mana, aku meneruskan ceramahku,
"Coba belajar bersukur Ki, buat semua yang Tuhan udah kasih sama kita, bukan cuma yang enak-enak aja, tapi semua kejadian, bahkan kesulitan-kesulitan, karena semua itu pasti ada tujuan dan maksudnya, dan kalau kita mau belajar meresponi semuanya dengan benar, pasti hasilnya baik, minimal ada pelajaran yang akan kita terima. Buktinya, sampai saat ini Tuhan selalu baik sama kita & memelihara kita kan?"
Obrolan kami terputus di sana karena aku harus buru-buru menyelesaikan menyiapkan sarapan dan Lucky harus segara berangkat ke sekolah.
Tetapi sepenggal percakapan tadi membuatku berpikir,
"Iya ya, ngomong sama Lucky aku bisa. Tapi apa iya aku sudah menjalankan semua itu?"
Seringkali aku bersyukur saat sesuatu yang baik terjadi, atau apabila semua berjalan sesuai dengan kemauanku. Tapi saat aku menghadapi masalah atau hambatan, seringkali aku pun berkeluh kesah, bersungut-sungut, berharap semuanya bisa segera berlalu, persis seperti seorang anak kelas 5 SD yang enggan menyelesaikan pekerjaan rumahnya dan ingin segera kembali bermain di akhir pekan.
Mungkin tulisan ini bisa membuat kita mengkaji lagi hidup ini, apakah kita sudah mengucap syukur di dalam segala keadaan? Apakah kita sudah mengerjakan setiap PR yang Tuhan berikan dengan sebaik-baiknya? Apakah kita sudah menguasai pelajaran kehidupan yang Tuhan berikan setiap hari? Sudah layak kah kita untuk "naik kelas" dalam setiap perkara yang Tuhan percayakan terjadi pada kita?
Memang tidak mudah, mungkin itulah sebabnya ada istilah "korban syukur", karena ucapan syukur yang tulus yang dinaikkan saat kita dalam kesusahan adalah suatu korban yang harum di hadapan-Nya, yang lebih berharga daripada sekedar persembahan materi dari sebagian kelimpahan kita.
Aku jadi teringat sebuah buku cerita yang pernah saya baca ketika aku masih anak-anak, judulnya Katy, karya Ennyd Blyton, salah satu pengarang kesayanganku, di sana diceritakan tentang ketabahan seorang anak perempuan bernama Katy yang menderita lumpuh akibat suatu kecelakaan, bagaimana di belajar dari "Sekolah Penderitaan" sampai akhirnya bisa menjadi suatu pribadi yang selalu bersyukur dan bersukacita, mambawa damai dan sukacita bagi setiap orang di sekitarnya.
Yah, itulah sepenggal pikiran di awal hari, semoga bermanfaat bagi kita semua, amin....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar