Rabu, 23 Juni 2010

Disiplin pada Anak

Akhir-akhir ini sangat banyak berita tentang kekerasan dalam rumah tangga, yang menyita perhatian saya khususnya kekerasan fisik terhadap anak-anak. Baru-baru ini seorang rekan mengutip berita kematian seorang gadis cilik berusia 2 tahun karena dipukuli ayah kandungnya sendiri. Si ayah mengajukan pembelaan tidak bersalah dengan alasan ingin mendisiplinkan putrinya . Dunia macam apa ini?

Baru minggu yang lalu di gereja, khotbah pendeta minggu itu bertema tentang mendidik dan mendisiplinkan anak. Sempat pula dikutip ayat tentang menghajar anak dengan tongkat. Yang menjadi masalah di sini mungkin penafsiran tentang “tongkat” itu sendiri. Apakah ayat ini harus diartikan secara harfiah?

Secara pribadi, saya tidak setuju dengan hukuman secara fisik kepada anak-anak. Mengapa? Ada beberapa hal yang melandasinya.
1. Seorang anak seharusnya menemukan rasa aman dan kepercayaan pada orang tuanya. Bagaimana seorang anak bisa merasa aman kalau dia tahu bahwa sewaktu-waktu orang tua itu akan menyakitinya? Hal ini saya rasakan sendiri ketika masih kanak-kanak. Walaupun saya termasuk anak yang baik dan jarang dipukul, tetapi pengalaman yang sedikit itu sangat membekas di hati dan ingatan saya. Saya ingat perasaan takut saat ibu saya mendekat dengan kemoceng teracung di tangannya. Rasa pedih saat rotan itu mendarat di betis, dan bilur pukulan yang menonjol kemerahan di kulit saya setelahnya, hal itu tercetak jelas sampai hari ini. Dan ini walaupun efektif di masa kanak-kanak tetapi sempat menimbulkan masalah saat saya remaja karena saya merasa orang tua tidak menyayangi saya sebagaimana seharusnya. Saya menjadi anak yang pemberontak dan selalu menghindari rumah, dan bahkan sempat mengalami masalah yang cukup besar karenanya, karena saya selalu merasa tidak nyaman dengan orang tua. Walaupun orang tua menjelaskan apa kesalahan si anak, tetap kejadian itu akan membekas dan menjadi trauma dalam diri si anak. Walaupun mungkin kadar trauma akan berbeda pada setiap anak tergantung dari kepekaan dan kepribadian anak yang bersangkutan. Sebagai contoh suami saya pun semasa kecilnya beberapa kali mengalami dipukuli oleh orang tuanya. Walaupun tidak mengalami trauma dan pergumulan seperti yang saya rasakan karena dia seseorang yang lebih logis dan “cuek” daripada saya yang sensitif dan emosional, tetapi semua kejadian itu masih diingatnya secara detil, yang berarti memori yang menyakitkan itu terekam secara lebih jelas pada seorang anak, jauh melebihi ingatan akan kejadian yang menyenangkan. Bahkan pada suatu kejadian anjing kesayangan suami saya menggeram dan berusaha menggigit ayah suami saya pada saat beliau sedang “menghajar” anaknya. Alhasil, di sepanjang masa kanak-kanaknya, dalam benak suami saya Boboy sang anjing adalah sahabat terbaik dan pelindungnya yang paling setia. Suatu posisi kehormatan yang seharusnya ditempati oleh orang tua. Toh sebenarnya masih banyak metode lain yang lebih positif dalam mendisiplinkan anak. Trauma ini kadang berdampak lebih jauh dari yang kita pikirkan. Misalnya dalam mengasosiasikan fungsi suatu benda. Tangan : untuk bekerja, untuk membelai, untuk mengobati. Bukan untuk memukul, mencubit, menjewer. Sapu lidi : untuk membersihkan tempat tidur dari debu. Bukan untuk menyabet atau memukuli anak atau hewan peliharaan. Beberapa kali di toko saya, saya melihat bukti nyata dari kasus ini. Sekali seorang ibu datang bersama anaknya yang masih balita. Si ibu membeli sapu lidi, si anak langsung bertanya dengan wajah memucat ,”Mamah, itu buat apa?” Si ibu dengan kejam menjawab, “ Buat ngegebugin Ade kalo ngga bisa diem.” Kontan si anak mengkerut dan terdiam sepanjang sisa waktunya di toko saya sambil menatap si sapu lidi kutukan itu dengan nanar. Apakah kejadian seperti ini tidak menggugah hati seorang ibu? Ataukah ia akan berbangga hati karena telah “berhasil” mendisiplin sang anak?

2. Orang tua merupakan teladan. Anak secara otomatis akan mengikuti perilaku dan pola yang dijalani oleh orang tuanya.Orang tua yang sering menggunakan kekerasan fisik sebagai hukuman akan menanamkan pola ini pada benak sang anak. Akan muncul kecenderungan pada anak untuk melakukan kekerasan pada orang yang dirasanya merugikan atau bersalah kepadanya. Hal ini dapat kita lihat bahkan pada anak-anak usia playgroup tan TK. Seorang anak yang memukul temannya, pada saat ditanyai ia akan menjawab, “Habis Anto nakal!” seolah-olah itu adalah pembenaran yang universal, nakal = boleh/harus dipukul.

3. Orang tua pun hanyalah seorang manusia. Seringkali dalam memarahi dan mendisiplin anak orang tua terbawa emosi atau lebih melampiaskan kekesalan daripada terfokus pada penyelesaian masalah dan memikirkan efeknya pada si anak. Kadang kala hal ini bisa berbahaya bila hukuman fisik diterapkan, karena seringkali orang tua terbawa emosi dan menghukum secara berlebihan. Sangat banyak kasus kematian anak akibat dipukuli orang tuanya sendiri, dan sebagian besar dari orang tua itu merasa menyesal karena sebenarnya tidak bermaksud untuk membunuh sang anak.

4. Tubuh manusia, apalagi anak-anak, tidak tidak dirancang oleh Tuhan untuk menerima perlakuan kasar secara fisik. Seluruh tubuh manusia dilapisi dengan daging dan kulit yang lembut dan sensitif, lengkap dengan pembuluh darah dan ujung-ujung syaraf yang sangat peka di bawah permukaannya. Bahkan area yang katanya disediakan khusus untuk dipukul (yaitu pantat), setelah saya telaah lebih jauh saya berkesimpulan itu pun tidak tepat. Pantat itu diciptakan Tuhan sebagai alas duduk. Bayangkan kita dengan lapisan pantat yang tebal berlemak pun akan merasa pegal dan sakit jika harus duduk di permukaan yang keras untuk jangka waktu yang lama, apalagi kalau kita tidak punya pantat? Selain itu tepat di tengah pantat terletak ujung tulang ekor yang merupakan kumpulan ujung syaraf-syaraf utama di dalam sumsum tulang belakang. Seorang yang jatuh terduduk dan terbentur tepat di tulang ekor nya beresiko besar mengalami kebutaan, bahkan kelumpuhan.

5. Tuhan menciptakan panca indera yang sangat luar biasa pada manusia. Salah satu di antaranya adalah kulit, yang merupakan indera peraba. Dalam keadaan terpejam sekali pun, manusia dapat merasakan semilir hembusan angin membelai kulitnya, atau merasakan sehelai rambut yang disentuhkan kekulitnya. Bayangkan sesuatu yang sepeka itu harus menerima pukulan atau benturan yang keras. Dalam persepsi saya, pemukulan adalah bentuk penyiksaan, bukan disiplin. Bahkan dalam metode melatih hewan pun, pemukulan adalah metode yang tidak dianjurkan karena walaupun efektif akan tetapi hanya membuat hewan menurut karena takut. Masih banyak teknik lain yang lebih positif dan berdampak permanen dalam jangka panjang, seperti penggunaan sprayer, pengenalan simbol tertentu, dan terutama adalah pendekatan secara pribadi dengan kasih sayang. Bahkan dalam menjinakkan hewan buas seperti harimau dan singa pun, cemeti hanya digunakan untuk menciptakan efek dalam pertunjukan, atau untuk memberikan aba-aba untuk melakukan suatu kegiatan saat dilecutkan ke tanah. Tidak pernah cemeti tersebut dilecutkan ke tubuh hewan yang sedang dilatih.

6. Secara ilmiah dan psikologis pun, di jaman modern ini metode mendisiplinkan anak secara fisik sudah dikecam dan ditinggalkan. Secara ilmiah, sudah banyak survei dan percobaan yang membuktikan efektifitas yang rendah dari metode ini. Terutama dalam jangka panjang. Kualitas hubungan yang sehat antara orang tua dan anak di masa dewasanya, juga keberhasilan sang anak dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sangat ditentukan oleh sehatnya kondisi mental dan psikis sang anak. Metode disiplin secara kekerasan pun hanya efektif apabila figur pen-disiplin ada di tempat. Seorang anak yang terlalu dikekang di rumah, biasanya akan bermasalah dengan disiplin di sekolah dan di lingkungan lain di luar rumahnya. Biasanya muncul kecenderungan menjadi trouble-maker atau menjadi anak yang tertutup dan insecure, tergantung dari bawaan kepribadian si anak. Demikian pula halnya setelah ia tumbuh dewasa, ia akan secepat mungkin berusaha melepaskan diri dari kungkungan orang tua (misalnya dengan menikah muda atau memilih bersekolah dan bekerja di luar kota). Dan begitu terlepas ia akan cenderung untuk memanfaatkan kebebasannya secara tidak terkendali, yang tentu saja berbahaya dan beresiko bagi kehidupannya sendiri.

Jadi, bagaimanakah cara mendisiplinkan anak secara efektif tanpa melukai sang anak? Dari beberapa buku yang saya baca, juga dari sharing dengan rekan-rekan orang tua dan dokter anak serta psikolog perkembangan anak, ada beberapa metode yang disepakati efektif dan positif untuk tumbuh kembang seorang anak, yaitu :
1. Kasih sayang dan sentuhan fisik. Hubungan yang dekat dan penuh kasih antara orang tua dan anak sejak dari masa kandungan sangat mempengaruhi kemudahan mendisiplinkan seorang anak. Seorang anak yang baik hubungannya dengan orang tuanya cenderung lebih mudah menurut karena ia secara naluri ingin menyenangkan orang tuanya.
Karena itu ajaran lama yang menganjurkan untuk tidak terlalu sering menggendong bayi agar tidak “bau tangan” dan merepotkan kini mulai ditinggalkan. Bahkan dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif dan menyentuh, menggendong, dan berbicara kepada bayi sesering yang dibutuhkan. Memang lebih melelahkan dan membutuhkan komitmen dari seorang ibu, tetapi hal ini berdampak positif dan permanen bagi perkembangan mental dan psikis anak. Jangan takut anak menjadi “ogoan” karena justru anak yang di masa kecilnya dekat dengan orang tuanya pasti mempunya kadar rasa aman yang tinggi dan pada waktunya akan menimbulkan rasa penerimaan dan percaya diri yang alami.

2. Rasa aman dan percaya diri. Hubungan yang baik antara orang tua dan anak pada gilirannya akan menimbulkan rasa aman pada diri si anak. Hal ini sangat berpengaruh pada rasa percaya diri si anak. Anak yang merasa aman otomatis akan lebih percaya diri karena sudah terbiasa merasa diterima dan nyaman dengan dirinya sendiri. Hal ini juga menyebabkan anak lebih mudah untuk mengaku salah, meminta maaf, dan beradaptasi dengan orang lain. Dampak positif lainnya, anak akan lebih berani mengeksplorasi lingkungan dan tampil di muka umum.

3. Toleransi. Salah satu cara belajar yang paling mudah bagi seorang anak adalah dengan cara imitasi. Figur yang diimitasi adalah figure yang terdekat yang dihadapinya sehari-hari. Bila orang tua menunjukkan rasa toleransi dan kemurahan hati pada anak dan orang-orang di lingkungannya, anak pun akan belajar untuk lebih memiliki toleransi terhadap orang-orang dan lingkungannya. Hal ini mencakup daya tahan terhadap stress dan peraturan. Hati-hati apabila orang tua kurang memperhatikan tumbuh kembang anak, seorang anak yang notabene dibesarkan oleh suster akan mengimitasi perilaku si suster.

4. Jadwal. Menurut salah seorang psikolog anak di Bandung dalam sebuah seminar pendidikan yang saya ikuti beberapa waktu yang lalu, untuk anak usia Playgroup sampai Taman Kanak-kanak, bahkan usia Sekolah Dasar awal, pengenalan akan jadwal yang tetap seperti waktu makan, waktu mandi, waktu sekolah, dan lain-lain secara konsisten cukup baik diterapkan untuk membiasakan anak mengenal keteraturan, tanggung jawab dan mengorganisasi waktu dengan baik. Walaupun hal ini tidak efektif apabila diterapkan kepada anak-anak dengan usia yang lebih tinggi, namun pembiasaan hidup yang teratur di awal kehidupannya merupakan dasar bagi pola disiplin sang anak.

5. Punishment(sanksi) and Reward(ganjaran). Punishment pada hakekatnya adalah suatu tindakan atau stimuli yang dimaksudkan untuk mencegah pengulangan suatu perbuatan yang kurang baik/tidak diterima. Sedangkan reward pada hakekatnya adalah suatu tindakan atau stimuli yang meng-encourage atau merangsang seseorang untuk mengulangi suatu perbuatan yang dianggap baik/disetujui. Penerapan Metode ini harus dilakukan dengan bijaksana dan seimbang. Jangan reward dijadikan “sogokan” untuk meminta si anak melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Demikian pula dengan punishment, jangan dijadikan ancaman untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Akan tetapi doronglah anak untuk berkembang sesuai dengan potensi dan ke-khas-an pribadinya. Beri koridor, tetapi jangan mendikte. Pujilah anak pada saat dia melakukan sesuatu yang baik atau meraih suatu prestasi. Dukung dan beri semangat anak pada saat dia mengalami kesulitan. Tegur anak pada saat dia melakukan kesalahan.

Contoh punishment yang efektif dan positif di antaranya :
• Time out : Ini merupakan suatu waktu yang disepakati untuk menjauhkan anak dari kegiatan yang sedang berlangsung atau dari orang-orang yang ada di rumah untuk sementara karena si anak tidak mengikuti peraturan atau etika yang berlaku atau bila anak mengamuk (tantrum). Biasanya cocok diterapkan pada anak-anak kecil (usia balita). Dapat ditentukan misalnya sebuah kursi di sudut ruangan, di kamar si anak, atau tempat lain yang disepakati. Waktu time out ini pun disesuaikan dengan usia si anak dan kesalahan yang dilakukan. Misalnya 3 menit di sudut karena si anak merebut mainan adiknya tanpa permisi. Atau 5 menit di kamar karena si anak memukul kakaknya saat berebut mainan. Atau 2 menit di tangga karena si anak melemparkan makanannya ke lantai dengan sengaja. Atau beberapa waktu di kamar karena si anak mengamuk meminta es krim sebelum makan siang (sampai amukannya mereda).
Kegunaan dari metode punishment ini adalah untuk meredakan pertikaian yang memanas, meredakan emosi anak, dan memberi waktu kepada orang tua untuk mengesampingkan emosi dan memikirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepada si anak.
Yang harus diperhatikan dalam penerapan time out ini adalah pentingnya bincang-bincang dengan anak setelah waktu time out selesai, Ajak anak untuk mengetahui kesalahannya dan dampaknya bagi dirinya sendiri dan orang lain. Biasakan juga anak untuk meminta maaf kepada pihak yang dilukai dan tekankan bahwa orang tua mencintai si anak, yang tidak disukai adalah perbuatan nakalnya.

• Taking away a previlege : Ini merupakan pengambilan privilege (hak) anak sebagai ganti kesalahan yang dilakukannya. Biasanya cocok diterapkan pada anak-anak hampir di semua usia. Misalnya pengurangan waktu bermain game atau menonton televisi untuk belajar karena nilai ulangannya merah akibat tidak belajar. Atau pemotongan uang jajan untuk mengganti kaca jendela sekolah yang pecah akibat bermain bola di kelas. Atau menghapuskan jadwal piknik keluarga karena anak melalaikan tugas membereskan kamar yang telah dijanjikannya. Kegunaan dari metode ini adalah mengajarkan anak untuk bertanggung jawab atas setiap perbuatannya dan untuk menunaikan kewajibannya. Yang harus diperhatikan adalah hukuman yang diberikan harus adil dan sesuai dengan kesalahan si anak. Jangan menerapkan hukuman yang mengada-ada dan tidak membuat si anak menyadari kesalahannya. Hal ini akan membuat anak bingung dan kehilangan motivasi untuk disiplin. Misalnya anak dihukum tidak boleh ikut acara piknik sekolah karena makannya diemut, hal ini sangat tidak logis dan membingungkan anak dalam mengaitkan hubungan sebab-akibat suatu perbuatan. Dalam penerapan metode ini mungkin akan muncul negosiasi. Jangan langsung meng-cut anak. Biarkan anak mengemukakan pendapat dan alasannya, karena toh orang tua biasanya bisa menilai kebenaran dari cerita si anak. Misalnya anak mendapat nilai jelek karena ternyata anak sakit atau tidak enak badan sehingga tidak dapat konsentrasi, mungkin waktu hukuman dapat dikurangi walaupun anak tetap harus menambah jam belajar untuk mengejar kekurangan yang telah terjadi. Namun apabila anak berdalih dengan berbohong, tidak menutup kemungkinan bagi orang tua untuk menambah waktu hukuman sehingga anak akan berpikir 2 kali sebelum berbohong.

• Task atau Assignment : Metode hukuman ini banyak kita lihat diterapkan di sekolah. Misalnya hukuman menulis 20 kali “Tulisan harus lebih rapi” atau “Saya tidak boleh melempar kapur kepada teman” dengan tujuan mengingatkan anak agar tidak mengulangi perbuatannya. Bentuk lain yang kita jumpai di sekolah misalnya menghukum seorang anak yang kedapatan membolos dengan tugas piket membersihkan kelas sepulang sekolah setiap hari selama 1 minggu. Hal ini juga dimaksudkan untuk men-discourage seorang anak mengulangi perbuatannya dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih berguna.
Cara ini juga bisa kita terapkan di rumah untuk kasus-kasus yang tepat. Tetapi tentu saja sekali lagi harus diperhatikan prinsip keadilan dan efektifitasnya.

Sedangkan beberapa bentuk reward yang bisa diberikan adalah :
• Positive Reinforcement : Berupa dukungan positif secara verbal. Bisa berupa pujian, pelukan, kecupan, atau kartu ucapan apabila si anak melakukan suatu tindakan yang baik atau menunjukkan perkembangan yang positif dalam suatu hal. Misalnya pujilah seorang anak yang mau membagi kue atau meminjamkan mainan pada kakak atau adiknya. Peluk dan kecuplah seorang anak yang membawa pulang setangkai bunga untuk ibunya sambil si ibu mengucapkan terima kasih yang tulus. Beritahukan kejadian itu kepada orang lain sehingga si anak bisa merasakan kebanggaan sang ibu akan tindakannya. Contoh lain adalah memberikan kartu ucapan selamat kepada anak yang naik kelas atau memenangkan suatu kejuaraan. Positive reinforcement ini bisa disertai dengan bentuk reward yang ke-2 .

• Hadiah. Bisa berupa benda, acara seperti piknik atau bermain di mal, perayaan, misalnya makan di restoran kesukaan si anak untuk merayakan keberhasilan atau prestasi, atau berupa privilege seperti tambahan jam main atau tambahan jatah penyewaaan DVD untuk minggu tersebut. Seperti halnya punishment, pemberian reward pun harus secara proporsional dan tidak berlebihan. Jangan biasakan anak menagih reward untuk setiap perbuatannya. Karena reward adalah privilege, bukan hak.

6. Komunikasi. Komunikasi mungkin adalah alat disiplin yang terpenting setelah kasih sayang. Dengan komunikasi yang baik dan terbuka antara orang tua dan anak, kedua pihak terbiasa untuk membicarakan segala sesuatu dalam setiap aspek kehidupannya. Hal ini juga membuat anak merasa dipercaya, dihargai dan diperhatikan sebagai anggota keluarga sehingga ia juga akan mempercayai dan menghargai apa yang disampaikan oleh orang tuanya. Mulailah sedini mungkin karena semakin besar usia seorang anak, semakin sulit untuk memulai komunikasi karena si anak semakin tidak terlalu terikat pada orang tua dan sudah memperoleh pengaruh dari banyak pihak yang dihadapinya selain orang tua. Penerapan komunikasi ini juga harus dirintis dalam setiap kesempatan, jangan hanya mengajak anak berbincang saat ada masalah. Hal ini bisa menyebabkan anak enggan berkomunikasi dengan orang tua. Saat makan bersama atau bersantai bersama adalah contoh waktu yang tepat untuk mengobrol. Biasakan diri untuk terlibat dengan keseharian sang anak, tanyakan kegiatannya hari itu, tawarkan bantuan apabila ia menghadapi kesulitan, tapi jangan memaksa apabila anak belum mau bercerita atau tidak ingin dibantu. Pendidikan moral dan spiritual seperti mezbah keluarga juga sangat penting dan berpengaruh dalam pembentukan pribadi seorang anak. Selain itu, ikut sertakan anak dalam rapat untuk mengambil suatu keputusan bagi keluarga, misalnya dalam rencana mengganti perabot rumah atau rencana tujuan liburan keluarga. Satu hal yang perlu diperhatikan lagi adalah untuk menegur dan membahas kesalahan anak secara pribadi, jangan di hadapan umum atau di depan saudaranya karena hal ini akan melukai harga dirinya.

7. Keteladanan. Seperti sempat disinggung sebelumnya, salah satu cara belajar anak adalah dengan meniru /imitasi. Keteladanan orang tua adalah sarana awal pendidikan anak, termasuk dalam hal disiplin. Jangan berharap untuk mengajarkan anak bangun pagi kalau orang tuanya pun selalu bangun siang, misalnya. Juga hati-hati berkata-kata kasar di depan anak karena akan segera ditiru secara efektif oleh seorang anak. Kadang-kadang mempunyai anak berarti kita harus juga memperbaiki sikap dan pola hidup kita. Cara ini juga paling efektif untuk mengajarkan sesuatu yang agak abstrak seperti agama, moral, juga disiplin itu sendiri. Apa yang disaksikan dan dialami sendiri oleh si anak adalah guru yang paling efektif, bahkan kadang tanpa kita perlu bersusah payah mengajarkannya.

8. Konsistensi. Setiap metode disiplin yang diterapkan harus disertai dengan konsistensi. Suatu perilaku yang salah yang kadang diterima dan kadang tidak diterima akan membuat anak menganggap remeh kesalahan. Anak akan selalu mencari celah untuk bisa lolos dari hukuman. Konsistensi juga mencakup kesepakatan. Kesepakatan antara ayah dan ibu dalam mengambil keputusan sangat penting. Apabila tidak anak akan mencoba-coba kepada ibu ketika dilarang sesuatu oleh ayahnya. Karena itu ada baiknya dibicarakan dahulu dasar di dalam rumah tangga. Untuk hal-hal yang belum dibicarakan sebelumnya, jangan ragu untuk menunda memberi jawaban kepada anak, “Nanti mama ngobrol dulu sama papa. Keputusannya besok ya?” Hal ini juga berlaku apabila ada pihak lain yang berpengaruh di rumah, misalnya kakek dan nenek. Tekankan bahwa pengambil keputusan akhir mengenai anak tetaplah orang tua. Pengasuh atau suster juga harus menyadari aturan ini dan harus bertanya kepada orang tua untuk hal-hal yang membutuhkan pengambilan keputusan.



Tulisan ini saya buat sebagai sharing dan ungkapan hati sebagai seorang ibu yang concern dan prihatin dengan kondisi pendidikan anak di masa ini, walaupun saya sendiri masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan dalam mendidik anak karena mendidik anak adalah salah satu tugas yang tersulit di muka bumi ini.

Saya juga belum dapat membuat tulisan yang lebih ilmiah dengan referensi yang lebih jelas, untuk itu saya mengundang semua pihak yang mungkin lebih mempunyai kapasitas untuk itu agar melengkapi dan mengembangkan tulisan ini sehingga bermanfaat bagi semua orang tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar