Rabu, 23 Juni 2010

Kisah Freeia dan Vorg part.7

Mereka sudah tidak dapat lagi membedakan siang dan malam. Setiap saat hanya ada raungan angin dan kegelapan. Ke mana pun mata memandang hanya tampak salju berputar-putar di udara.

Saat itu mereka sedang tertidur di sudut gua mereka masing-masing. Entah mengapa tiba-tiba badai menggila begitu hebatnya, meraung bagaikan makhluk yang terluka, menabrak-nabrak dinding gua hingga bergetar. Freeia terbangun dari tidurnya dan memekik ketakutan.
“Ada apa Freeia?” Vorg terlonjak bangun dari tidurnya.
“Aku…Aku takut.”
“Ssh… Jangan takut, Cuma suara angin kok,” Vorg bergegas menghampiri Freeia.

Akhirnya mereka pun tidak lagi mencoba untuk tidur dan pindah ke sisi api unggun. Mungkin karena takut, tanpa sadar Freeia duduk merapat pada Vorg. Aroma tubuhnya yang segar seperti bunga-bunga di musim semi menyusup ke dalam hidung Vorg. Berbagai perasaan yang belum pernah dirasakannya berkecamuk di dada Vorg. Jantungnya berdegup makin kencang, nafasnya semakin memburu, dan keringat mulai bermunculan di dahi dan di atas bibirnya walaupun sebenarnya suhu udara saat itu sangat dingin. Ia berdehem keras dan mulai tidak dapat berpikir jernih ketika Freeia melihat bekas luka di lehernya dan bertanya,” Bekas luka apa ini? Bagaimana kau mendapatkannya?”

Vorg kembali berdehem keras, mengembalikan suaranya yang tiba-tiba menjadi serak, merasa lega karena ada sesuatu yang membuyarkan suasana yang mencekam itu (bagi dia setidaknya).
“Oh, itu gara-gara kalajengking. Ketika itu aku pulang sehabis mencari makanan. Sesampainya di rumah peninggalan kedua orang tuaku, ternyata seekor kalajengking besar sedang menerobos liang masuk rumah kami. Demi mendengar jeritan Trod adikku yang berada di rumah sendirian, aku berlari masuk secepat aku bisa. Trod meringkuk di pojok. Ekor kalajengking itu mencuat ke atas, hampir saja Trod disengatnya. Buru-buru aku melemparnya dengan sendok, satu-satunya barang terdekat yang bisa kuraih saat itu, ke kepala kalajengking itu. Kalajengking itu berbalik marah dan berusaha menyerangku. Aku berkelit, berlari menghampiri Trod, memasukkannya ke dalam panci besar tempat biasa ibuku membuat bubur ubi, dan menggelindingkannya keluar. Tetapi aku tidak keburu kabur, kalajengking itu menghalangi pintu keluar. Aku mengeluarkan senjata tanduk kumbangku. Dan ketika sengatnya siap memagutku, kutusuk hidungnya keras-keras. Ia mengamuk dan capitnya mengenai leherku. Untung aku tidak terkena sengat beracunnya. Sementara ia mengamuk kesakitan, aku pun berhasil menyelinap keluar.”
Sementara itu Freeia tertawa terbahak-bahak sambil memegangi sisi perutnya. Vorg berhenti bercerita, tertegun mendengar alunan dering merdu tawa Freeia. Belum pernah didengarnya derai tawa seperti itu. Bahkan Trod tidak pernah tertawa selepas itu.

Freeia mengusap air mata dari sudut matanya seraya berkata,”Aduh, maafkan aku. Aku tidak tahan. Bukannya aku tidak bersimpati, tetapi ceritamu lucu sekali. Ha ha ha, melempar kalajengking dengan sendok, ha ha ha, dan menggelindingkan adikmu dalam panci ubi, ha ha ha, dan menusuk hidung kalajengking, ha ha ha, mengapa kaupilih hidungnya? Ha ha ha…” kembali Freeia tertawa terpingkal-pingkal di sela-sela kata-katanya.

Vorg mulai membayangkan lagi adegan perkelahiannya dengan kalajengking itu. Mulai dilihatnya kelucuan-kelucuan di dalamnya, dan ia mulai tertawa bersama Freeia. Mereka tertawa sampai sakit perut. Dan ketika tawa mereka mulai mereda, Freeia menirukan gerakan melempar sendok pada kalajengking dan mereka pun mulai tertawa lagi.

Setelah selesai tertawa, lemas rasanya. Freeia terdiam. Vorg pun terdiam. Diresapinya perasaan yang baru sekarang ini dirasakannya. Terasa ringan, hampir-hampir pusing. Dan dadanya terasa begitu lapang. Pipinya pegal sehabis tertawa sedemikian rupa, tetapi kehangatan mengalir di perutnya. Betapa nikmatnya bisa tertawa seperti itu.

“Tahukah Vorg, kau lebih tampan bila kau tersenyum,” kata Freeia menggoda.
Vorg tersenyum simpul. Dikeluarkannya alat musik taringnya untuk kemudian dimainkannya. Aneh, musik yang keluar kali ini tidak sesendu biasanya. Rasanya musik itu mengandung harapan, dan bahkan keceriaan di dalamnya.
“Waw! Belum pernah kudengar musik seindah itu,” kata Freeia sesudahnya, “Aku jadi teringat tarian peri-peri padang di perayaan awal musim semi, dengan taburan kuncup bunga aneka warna dan kicauan burung-burung muda di rerumputan.”

“Mau tahu dari mana kuperoleh alat musikku ini?” tiba-tiba Vorg bertanya.
“Mau! Mau!” Freeia mengangguk dengan antusias.
Maka Vorg pun mulai menceritakan perkelahiannya dengan seekor kadal gendut kurang ajar yang berusaha memakannya ketika ia sedang buang hajat sendirian di hutan. Bagaimana karena terkejut dan kesal ia menunggangi kadal itu berputar-putar dan akhirnya menjerat leher kadal itu dengan celananya sampai lemas tak bernyawa. Kemudian ia mengambil taringnya yang berongga dan mencucinya untuk dijadikan alat musik yang ternyata oke punya. Sayang daging kadal itu liat dan bau, jadi Vorg mengurungkan niatnya untuk membawanya pulang dan memakannya.

Mereka tertawa-tawa dengan gembira. Bercakap-cakap dan bersenda gurau dengan ceria. Juga saat Freeia menceritakan berbagai kekacauan yang kerap ditimbulkan akibat perbuatannya. Raungan angin yang melolong menyeramkan di luar gua terlupakan sudah, yang ada hanyalah kehangatan dan kebahagiaan semata.

~oOo~

Pagi itu Vorg terbangun karena secercah cahaya yang masuk dari mulut gua. Badai sudah berlalu dan matahari tampak bersinar di luar gua. Freeia masih tertidur. Dipandanginya wajah manis gadis peri itu puas-puas.

Seolah-olah menyadari tatapan Vorg, Freeia menggeliat dalam tidurnya. Perlahan kesadaran mulai merebak dan hal pertama yang merasuki memorinya adalah Vorg dan kebersamaan mereka selama beberapa hari terakhir. Freeia membuka matanya. Tampak seraut wajah tampan dengan senyum simpul di bibirnya balas menatapnya. Freeia tersenyum malas.
“Ayo bangun peri malas. Badai sudah berhenti. Kita harus melanjutkan perjalanan,” sapa Vorg lembut.

Maka setelah sarapan dan bersiap-siap, Vorg melepaskan kedua pelindung yang dipakainya di lututnya. Dia membuat sepasang sepatu kedap air dari serpihan cangkang kumbang itu untuk Freeia. Yah, sedikit kasar buatannya. Maklum, alat yang tersedia hanyalah senjata dari kepingan tanduk miliknya. Terakhir, dipasangnya sedikit tali peri untuk mengencangkan sepatu itu di kaki Freeia.

“Nah! Kaimu tidak akan keriput lagi,” kata Vorg puas. Freeia menatap kakinya yang kini terbungkus sepatu cangkang kumbang buatan Vorg, kemudian menatap lutut Vorg yang kini telanjang, kemudian ia menatap wajah Vorg dan menghadiahinya dengan senyum lebar dan ucapan terima kasih. Membuat wajah Vorg yang tadinya tampak puas menjadi berseri-seri dan sedikit sumringah. Hidungnya kembang kempis karena bangga dan senang.

Vorg mengemas sisa persediaan makanan mereka untuk bekal mereka di perjalanan, kemudian mematikan api yang selama beberapa hari ini telah mengahangatkan mereka. Dan mereka pun melangkah ke luar, ke dinginnya udara pegunungan sehabis badai salju. Langit tampak bersih seperti habis dicuci dan udara yang mereka hirup terasa dingin dan pedas di wajah mereka.

Vorg menyipitkan matanya, membiasakan diri dengan cahaya matahari yang dengan bebas menerangi hamparan bukit berbatu-batu itu. Freeia merentangkan kedua tangannya dan menghirup nafas dalam-dalam, “Ahh… Segarnya!”

Mereka mulai melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak bukit. Kini Vorg berjalan lebih perlahan agar Freeia dapat mengimbanginya. Sesekali mereka berhenti untuk makan atau sekedar beristirahat sejenak.
“Tak lama lagi kita akan sampai di puncak bukit,” kata Vorg. Ya, buat peri sekecil mereka perjalanan itu luar biasa jauhnya.
“Bagus! Dan tak lama lagi aku bisa mengembalikan mantelmu. Lihat, sayapku mulai tumbuh,” Freeia memperlihatkan sepasang sayap kecil keemasan yang tumbuh begitu saja di punggungnya.
“Kurasa cuaca yang dingin ini menumbuhkan sayapku walaupun musim dingin belum lagi tiba. Tak lama lagi sayap-sayap ini akan cukup untuk menghangatkanku,” ujarnya lagi.
“Benarkah? Tapi tampaknya sayap-sayap kecil itu begitu tipis dan rapuh,” kata Vorg ragu-ragu.
“Eh! Jangan meremehkan sayap peri. Lihat saja kekuatan tali peri. Tali peri kan berasal dari sayap-sayap ini,”
“Hmm… Begitu… Bagaimana kakimu? Sakitkah?”
“Tidak kok. Sepatunya pas benar di kakiku. Enak dan hangat pula. Kau hebat sekali membuat sepatu,” celetuk Freeia samba tersenyum penuh kekaguman kepada Vorg. Hati Vorg menjadi berbunga-bunga mendengarnya, hidungnya kembali kembang kempis mendengar pujian Freeia meskipun ia tidak mengatakan apapun.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Dan ketika hari mulai senja, saat langit mulai berwarna kemerahan, sampailah mereka di puncak bukit berbatu itu.
Vorg menaungi matanya dengan telapak tangan dan melihat berkeliling. Dari ketinggian bukit itu, tampaklah bahwa bukit tempat mereka terdampar terletak di antara hutan belantara yang lebat tempat tinggal Vorg dan padang belantara yang luas tempat tinggal Freeia. Selain itu masih ada dataran tandus berselimutkan salju di satu sisi dan rawa-rawa becek yang berkabut di sisi yang lain.

“Rumahmu pasti berada di antara padang rumput itu bukan?” tanya Vorg tanpa mengalihkan pandangan dari pemandangan di sekitarnya.
“Iya betul! Ayo kita pulang!” Freeia berseru senang sambil menarik tangan Vorg, mengajaknya melanjutkan perjalanan mereka.
“E..eh! Nanti dulu. Hari sudah malam, dan kita sudah berjalan seharian. Lebih baik kita beristirahat di sini malam ini. Besok baru kita lanjutkan perjalanan kita.” Vorg menahan Freeia yang sudah tidak sabar ingin pulang ke rumah.
“Baiklah,” setelah berpikir beberapa saat dengan gaya khas mengerutkan kening, menggigit bibir dan menotol-notol dagu, akhirnya Freeia setuju dengan usul Vorg.

Kembali Vorg membuat api unggun. Mereka mencairkan salju untuk minum dan membakar ubi dan dedaunan yang mereka jumpai dan mereka petik selama di perjalanan. Hanya saja di puncak bukit ini tidak ada gua. Vorg merasa cukup aman untuk beristirahat di alam terbuka karena langit begitu jernih sehingga tidak mungkin badai bertiup malam itu. Mereka pun duduk meringkuk sedekat mungkin dengan api. Freeia masih mengenakan mantel bulu Vorg karena sayapnya belum cukup panjang untuk menyelimuti dirinya sementara Vorg membungkus tubuhnya dengan daun lebar yang dibawanya dari gua.

Kali ini kantuk cepat menghampiri mereka karena tubuh keduanya sudah penat sehabis berjalan mendaki bukit seharian. Tak lama kemudian mereka pun jatuh terlelap. Sinar bulan yang pucat, kerlip bintang-bintang dan cahaya api yang lincah menemani kedua insan peri yang terlelap di puncak bukit dengan perasaan manis yang kini mulai tumbuh di hati mereka berdua…

TO BE CONTINUED….
Suit Swiwww!!! :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar