Rabu, 23 Juni 2010

Kucing

Pada dasarnya aku adalah seorang penyayang binatang. Hampir semua binatang aku suka. Memang terutama binatang yang berbulu halus atau yang menggemaskan. Tetapi banyak binatang lain seperti serangga, ikan, bahkan beberapa reptilia dan ular cukup menarik di mataku. Hanya ada beberapa hewan yang memang tak dapat kutoleransi dan menjadi phobia bagiku.

Tetapi di atas semua jenis hewan, kucing merupakan hewan favoritku. Mengapa kucing? Padahal ada sebagian orang justru membenci hewan yang satu ini. Mitos yang banyak kita dengar adalah bahwa kucing itu hewan yang egois dan hanya memanfaatkan majikannya. Susah diatur dan berbuat sekehendak hatinya, datang dan pergi pun semaunya, tidak setia seperti anjing misalnya. Justru alasan inilah yang menggelitikku untuk sedikit membagikan sedikit pengalamanku berinteraksi dengan jenis hewan ini.

Pada kenyataannya, ada banyak sekali yang dapat kita pelajari dari seekor kucing. Aku sendiri, yang sedari muda sudah memelihara banyak sekali kucing, tak putus-putusnya mengagumi setiap kucing dengan ke-khas-an setiap pribadinya satu-persatu. Ya, kucing adalah hewan dengan kepribadian. Ada kucing yang pendiam, ada kucing yang cerewet. Ada kucing yang cuek, ada kucing yang perhatian. Ada kucing yang sanguin, ada pula kucing yang melankolis. Tetapi yang sama dan tak pernah berubah, kucing adalah hewan yang sangat pengasih dan bermartabat.

Apa maksudnya bermartabat? Hubungan antara seekor kucing dengan manusia harus dilandasi dengan saling menghormati dan saling menyayangi. Tidak seperti anjing yang walaupun dipukuli dan tidak diberi makan tetap bertahan dengan majikannya, kucing tidak akan menerima perlakuan yang semena-mena. “Bila kau sudah tak menyayangiku, aku pun tak memaksa. Hanya saja jangan berharap aku akan terus mengikutimu.” Mungkin begitulah kira-kira jalan pikiran kucing.

Kucing pertamaku bernama Meng Mong. Seekor kucing jalanan yang suatu hari datang ke rumahku dan menolak untuk diusir. Aku diadopsi olehnya. Sungguh, dalam dunia perkucingan, merekalah yang memilih dan mengadopsi kita, bukan sebaliknya. Coba saja memungut seekor kucing yang tidak menyukaimu. Kecuali kau mengurungnya di dalam kandang, dia bisa dipastikan akan meninggalkan rumahmu dengan satu atau lain cara.

Meng Mong adalah seekor kucing betina yang mungil dan manis dengan bulu 3 warna. Dominan putih, dihiasi dengan beberapa pulau berwarna oranye dan hitam di sepanjang kepala hingga ekornya. Dia begitu ramah dan penyayang, walaupun agak penakut pada orang yang belum dikenalnya. Sayang dia mati kira-kira 6 bulan setelah perjumpaan kami. Dia terkena serangan jantung dan mati di kolong mobil Papaku. Tetapi dia sempat melahirkan di rumahku. Dan anak-anaknya yang berjumlah 6 ekor itu kubagi-bagikan pada teman-teman dan orang-orang yang menyukai kucing, kecuali satu.

Kucing keduaku adalah Puppet, anak Si Meng Mong. Seekor kucing jantan berwarna kelabu bergaris-garis hitam. Aku memilihnya dari keenam anak si Meng Mong karena ia paling dekat denganku. Dia sangat ekspresif dan manja terhadapku, tetapi terhadap orang lain sikapnya dingin, bahkan cenderung galak. Dia juga seekor kucing yang doyan makan. Bobot tubuhnya mencapai 7 kg, dengan bulu yang lebat dan halus serta gelambir besar di kedua sisi lehernya, dia adalah seekor kucing yang sangat tampan. Aku men-steril-nya sebelum usia 5 bulan (usia kematangan seksual seekor kucing), sesuai dengan anjuran kesehatan kucing dari dokter hewan, karenanya Si Puppet ini tidak pernah mencapai masa puber dan karenanya tidak pernah kelayapan keluar rumah. Semua orang gemas melihatnya, tapi jangan harap bisa memegangnya. Hanya dengankulah dia mau bermanja-manja, minta dielus, minta dipangku, dan menemaniku ke mana pun aku berjalan di seluruh rumah.

Tidak percaya bahwa kucing itu penuh kasih sayang? Salah satu cara utama seekor kucing menunjukkan kasih sayang pada sesama kucing adalah dengan menjilati bulu tubuhnya dan merapikannya. Perhatikan seekor induk kucing memandikan anak-anaknya, atau kakak beradik kucing yang saling menjilati wajah saudaranya.

Suatu hari, ketika aku sedang “curhat” kepada si Puppet di pangkuanku yang juga merupakan sahabat dan psikolog-ku (kucing merupakan pendengar yang sangat baik, dia bisa duduk tenang dan memandang kita dengan penuh perhatian tanpa menyela sedikit pun sampai kita selesai berbicara), seperti biasa dia bisa merasakan kegalauan hatiku dan akan berusaha menghiburku. Entah dengan menggosok-gosokkan kepala dan pipinya ke wajahku, atau merapatkan diri ke tubuhku sambil mendengkur keras bak mesin pemotong rumput, pokoknya dia tahu persis cara untuk membuat seseorang yang sedang bersedih merasa nyaman dan terhibur. Kali itu di memandang wajahku lekat-lekat, lalu kedua kaki depannya diletakkannya di bahuku, dan dia mulai menjilati alis ku dengan lidahnya yang diliputi duri-duri halus seperti sisir. Selesai dengan yang kanan, dia melanjutkan dengan yang kiri, sampai kedua alisku tampak rapi dan licin ketika aku berkaca di cermin. Aku sungguh tersentuh dengan tindakannya yang berusaha menghiburku dan jelas-jelas menunjukkan bahwa dia menyayangiku.

Sayang suatu hari aku tak dapat menemukan Si Puppet di mana pun, sepertinya seseorang mengambilnya ketika dia sedang berjemur di halaman. Cukup lama aku menangisi kehilangan akan dirinya, sampai suatu hari aku menemukan seekor anak kucing yang terlantar di depan rumahku.

Seekor kucing kecil berwarna coklat muda, tanpa corak ataupun warna lain di sekujur tubuhnya. Sungguh manis, hanya sayang keadaannya begitu memprihatinkan. Kotor dan dekil dengan banyak bongkahan tanah yang sudah mengering di bulunya. Kurus dan lemas karena kekurangan gizi. Matanya tertutup kotoran mata yang lengket dan meleber ke pipinya. Tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit, sungguh mengenaskan.

Ketika aku membawanya ke dalam rumah, Mamaku sempat marah karena menurutnya kucing kecil ini menjijikkan dan membawa penyakit. Tetapi aku tidak tega membuangnya sehingga aku memohon pada Mama agar diperbolehkan merawatnya. Akhirnya setelah kubersihkan dengan hati-hati, aku menyuapinya dengan kuning telur yang dicampur susu. Ini adalah resep pertolongan pertama pada hewan sekarat yang kujumpai di sekitar rumahku, sarat gizi dan bisa disuapkan menggunakan pipet jika si hewan terlalu lemah untuk makan sendiri. Untungnya si kucing coklat kecil dengan patuh menelan setiap tetes makanan yang kumasukkan ke dalam mulutnya. Aku pun menamainya Meeko, seperti nama rakun peliharaan tokoh Pocahontas di salah satu film kartun Disney yang rakus dan gemuk, dengan harapan dia akan segera sehat dan rakus seperti Meeko sang rakun.

Keesokan harinya aku membawanya ke dokter hewan. Dokter hewan pun tampaknya tidak yakin dapat menyelamatkan kucing kecilku. Beliau memberi Meeko cairan infus dan suntikan antibiotik. Beliau juga mengajarkanku cara membuat sweater dari kaus kaki bekas untuk kupakaikan pada Meeko agar dia tidak kedinginan. Selama hampir seminggu aku merawatnya, menyuapinya makan sepulang sekolah, menemaninya sambil mengajaknya berbicara, menyuapinya lagi selesai belajar dan membuat PR, dan membawanya ke dokter setiap 2 hari sekali untuk menerima cairan infus dan suntikan antibiotiknya. Keadaannya sempat membaik, Meeko bisa mengangkat kepalanya dan mengeong lemah, bahkan sempat berdiri walaupun dengan kaki goyah.

Tetapi rupanya tubuhnya terlalu lemah untuk bertahan. Kira-kira seminggu setelah aku menemukannya, Meeko pun mati di pangkuanku. Kucing ketiga yang kutangisi dan mengukir kenangan di hatiku.

Beberapa waktu kemudian, kembali seekor kucing mengadopsiku. Kali ini seekor kucing betina yang mungil dengan corak keabuan yang bercampur aduk dengan warna-warna lainnya. Sekilas agak mirip warna lap pel butut. Ekornya bengkok-bengkok di 3 tempat, tampaknya seperti habis terjepit pintu dan bentuknya tidak dapat kembali ke bentuk asalnya. Salah satu kaki depannya pun kehilangan 2 jarinya. Ditambah lagi dengan bekas-bekas luka di hidung dan robekan di telinganya. Seolah belum cukup, kucing ini datang dengan perut membuncit, penuh dengan entah berapa ekor anak kucing di dalamnya. Kembali Mamaku menentang habis-habisan keinginanku untuk memliharanya. Tetapi kucing itu rupanya sudah menetapkan pilihannya. Dia melesat masuk dan melompat ke tempat yang tidak dapat diraih oleh kami, dengan bantuan sapu sekalipun. Akhirnya kami terpaksa membiarkannya di sana. Mamaku berharap kucing jelek itu segera turun sehingga bisa diusir.

Tapia pa boleh dikata, malam itu sang kucing melahirkan di antara tumpukan barang-barang di sela-sela tangga antara lantai 1 dan lantai 2. Mamaku pun mengomel panjang pendek. Sempat kutangkap kata-kata ‘kutu’, ‘bulu’, dan entah apa lagi di dalamnya. Tapi aku tak ambil pusing karena seperti yang sudah-sudah, semua kucingku toh akhirnya bisa merebut hati Mama dan Mama pun akhirnya menyayangi kucing-kucing itu.

Sempat kuintip dan ternyata kucing jelek itu melahirkan 5 ekor anak kucing yang manis-manis. Dan ternyata dia seekor kucing yang sangat lembut dan menyayangi anak-anaknya. Dengan telaten ia menyusui dan memandikan anak-anaknya. Bila aku memberinya makan, dia akan mengeong mengucapkan terima kasih dan menggosok-gosokkan kepalanya ke tanganku yang membelainya. Dia juga cukup percaya kepadaku untuk mengijinkanku melihat anak-anaknya dari dekat, walaupun hal itu tidak berlaku bagi orang lain. Dia akan mendesis marah jika dirasanya seseorang berada terlalu dekat dengan sarangnya.

Aku memberinya nama Faye. Nama yang cantik untuk kucing yang jelek, tapi aku tetap melihatnya sebagai kucing yang cantik karena kepribadiannya yang cantik.

Beberapa hari kemudian, Faye tidak tampak keluar dari sarangnya seperti biasa, makanannya pun tak disentuhnya. Aku menengok ke atas tumpukan barang-barang tempatnya bersarang, dan ternyata Faye sedang terengah-engah dan kejang-kejang. Perutnya membuncit dan keras seperti batu. Memang kuperhatikan sejak habis melahirkan perutnya masih tetap besar, bahkan masih seperti kucing hamil saja layaknya, tapi tidak seperti apa yang kulihat sore itu.

Dengan panik aku menelepon dokter hewan. Untung beliau mau mampir ke rumah malam itu. Dan untungnya Faye cukup percaya kepadaku sehingga di tidak melawan ketika aku mengambilnya dari dalam sarangnya untuk diperiksa dokter.

Ternyata menurut dokter Faye tidak berhasil mengeluarkan ari-ari anak-anaknya dengan sempurna. Ada sebagian yang tertinggal di dalam dan menyebabkan infeksi rahim. Satu-satunya cara pengobatan adalah dengan menyuntikkan antibiotik langsung ke dalam rahimnya melalui liang vagina, karena kondisinya sudah kritis dan pengobatan oral tidak akan membantu sebelum waktunya. Masalahnya, setelah hampir seminggu melahirkan, jalan lahir dan liang vaginanya sudah tertutup. Dengan berat hati aku memeganginya erat-erat sementara dokter memasukkan dengan paksa sejenis batang panjang untuk menyuntikkan antibiotik ke dalam rahim Faye. Faye menjerit-jerit dan meronta-ronta kesakitan. Aku pun sambil menangis berusaha menghiburnya sambil mengeraskan hati untuk memeganginya erat-erat.

Akhirnya proses yang menyakitkan itu pun selesai juga dan aku meletakkan Faye yang lemas kelelahan dan kesakitan di sarangnya. Dan memang Faye kucing yang sangat baik, tak sekalipun selama proses itu dia berusaha menggigit atau mencakarku. Sepertinya dia tahu bahwa kami terpaksa melakukannya demi kebaikannya.

Puji Tuhan keesokan harinya keadaan Faye jauh lebih baik dan aku pun meneruskan pengobatan dengan memberikan antibiotik secara oral sampai Faye sehat sepenuhnya. Cukup lama juga Faye menjadi bagian dari keluarga kami. Setelah insiden itu sempat 2 kali lagi Faye melahirkan di rumah kami, yang untungnya tidak bermasalah lagi. Yang pertama berjumlah 4 ekor, semuanya kuberikan kepada orang-orang yang mau menerimanya. Yang kedua berjumlah 6 ekor, dan aku memelihara 2 di antaranya.

Ketika ke-6 anak kucing yang terakhir berusia beberapa bulan, Faye seperti biasa pergi untuk bersosialisasi. Tetapi kali itu dia tidak kembali. Sempat aku menelusuri jalan-jalan di sekitar rumahku untuk mencarinya, tetapi aku tak menemukannya. Dugaanku Faye mati tertabrak mobil karena kecil kemungkinan ada orang yang mau mengambil kucing jelek dan berperut buncit seperti Faye. Adikku bilang, saat duduk bentuk tubuhnya tampak seperti guci.

Cukup sedih juga rasanya, tapi aku agak terhibur karena kali ini ada anak-anak peninggalan Faye di rumahku. 4 di antaranya sudah ada yang mengambil, tetapi 2 lagi kupelihara. Yang 1 sebetulnya paling diminati, tetapi aku sengaja menahannya karena anak kucing itu adalah kesayanganku. Sekujur tubuhnya berwarna abu-abu tua, tanpa ada sedikit pun corak ataupun warna lain. Ketika baru dilahirkan, ukuran dan warnanya persis seperti seekor tikus. Itulah sebabnya aku menamainya Mickey. Tetapi setelah besar, Mickey sangat tampan dan elegan. Tubuhnya langsing dan luwes, warna dan proporsi tubuhnya persis seperti kucing ras berjenis Russian Blue. Pernah seorang penggemar kucing yang kebetulan melihatnya manawarnya dengan harga berdigit 7 angka, tapi aku tidak mau menjualnya.

Yang 1 lagi bernama Joy, berwarna dominan putih dengan sebuah pulau besar berwarna kelabu seperti induknya di punggungnya. Dengan kedua kucing ini lah aku menghabiskan masa remajaku hingga aku duduk di bangku kuliah, bahkan hingga aku menikah dan mempunyai anak. Kedua kucing ini selalu menyambutku di puncak tangga setiap aku pulang sekolah, mereka juga selalu bergelimpangan di sekitarku saat aku sedang membaca atau menonton televisi di ruang tamu.

Mickey lebih anggun dan pendiam, tetapi dia lebih manja dan selalu mengikutiku ke mana-mana. Dia selalu berada di pangkuanku saat aku berkutat dengan PR dan buku pelajaranku. Dia juga selalu menungguiku mandi di depan kamar mandi. Sedangkan Joy lebih ceria dan senang bermain. Dia juga sering menjahiliku dengan menubruk kakiku ketika aku berjalan, atau melompat menerkam tas atau buku yang terayun-ayun saat kuberjalan.

Ketika aku akhirnya menikah dan memiliki anak, aku kurang memperhatikan kedua kucingku dan jarang mengajak mereka bermain. Tugas memberi makan pun kudelegasikan pada pembantuku. Rupanya mereka merasakan hal itu dan dalam waktu singkat kedua kucing itu pergi meninggalkanku. Aku hanya berharap mereka menemukan seseorang yang sungguh layak untuk mereka dan mau menyayangi mereka dengan sebaik-baiknya.

Kini anak-anakku sudah cukup besar untuk tidak terlalu tergantung padaku. Percaya tidak percaya seekor kucing baru datang ke rumahku. Seekor kucing kampung, mirip sekali dengan Faye, kucingku dulu. Kembali aku diadopsi seekor kucing. Aku memberinya nama Meng karena begitulah kedengarannya ketika ia mengeong,” Meeeenngg….”

Meng seekor kucing yang sangat ramah dan lembut. Bahkan anak-anakku pun dapat bermain dengan aman bersamanya. Meng juga sangat manja dan menggemaskan. Dia selalu ingin berada di dekat kami. Kecuali kala ia pergi keluar rumah untuk berburu atau berjalan-jalan, ia akan selalu tampak di sekitar kami. Entah tertidur di meja kasir toko kami, bergelung di pangkuanku, atau duduk mengamati sambil mendengkur di etalase toko kami.

Senang rasanya bisa memelihara lagi seekor kucing setelah waktu yang cukup lama. Selain semua kesenangan hidup bersama dengan seekor kucing, ada lagi beberapa kelebihan hewan ini dibandingkan dengan binatang peliharaan lainnya loh, misalnya :
1. Kucing tidak perlu dimandikan. Kucing itu mempunyai kebiasaan mandi sendiri dengan menjilati bulu-bulu di sekujur tubuhnya. Air liur kucing mengandung desinfektan dan karenanya sangat efektif membersihkan dan menghilangkan bau tak sedap, juga membersihkan dan menyembuhkan luka. Hal ini sudah diteliti secara ilmiah oleh para ahli, bahkan konon katanya tingkat kebersihan mandi kucing itu lebih tinggi daripada kita yang mandi dengan sabun mandi. Hanya saja mungkin untuk kucing ras berbulu panjang, kita perlu memandikan dan menyisirinya agar bulunya tidak kusut. Karena itulah aku kurang menyukai kucing ras berbulu panjang. Selain perawatannya yang lebih rumit, secara umum kepribadiannya pun lebih pasif dan malas daripada jenis kucing kampong yang luwes dan lincah serta ekspresif.

2. Kucing secara naluriah memiliki dorongan untuk mengubur kotorannya. Maka kita tinggal menyediakan sebuah wadah atau bak berisi pasir atau tanah atau abua gosok atau cat litter, maka secara naluriah dia akan buang air di situ tanpa kita perlu bersusah payah melatihnya.


3. Kucing memiliki naluri berburu yang sangat baik. Mulai dari tikus, kecoak sampai cicak, bahkan capung dan laron, semua berusaha ditangkap olehnya. Bahkan jika ia tidak memakannya, naluri berburunya menyebabkannya berusaha menangkap makhluk-makhluk itu. Karena itulah, setiap kali aku memelihara kucing, rumahku bersih terbebas dari tikus dan kecoak. Suatu keuntungan yang sangat besar karena tikus belakangan ini sangat merusak dan sulit dibasmi. Baik lem tikus, perangkap tikus, racun tikus maupun alat pengusir tikus elektrik tak dapat membasminya sampai tuntas seefektif memelihara seekor kucing.

4. Kucing adalah seekor pendengar yang sangat baik hingga bahkan terapis dan psikolog pun sangat menganjurkan memelihara kucing untuk mengurangi stress. Dan seorang anak yang dibesarkan dengan satu atau beberapa binatang peliharaan yang terpelihara dengan baik secara psikologis akan lebih baik pertumbuhan mental dan kecerdasannya. Dan seseorang yang sedari muda sudah berdekatan dengan hewan yang terjaga kebersihannya akan berkecenderungan membangun sistem imun di dalam tubuhnya terhadap virus-virus yang biasanya dijumpai pada hewan. Bukti nyata dari hal ini adalah aku dan kedua sahabatku yang sama-sama pemelihara kucing, pada hasil tes darah pra-nikah terbukti kami semua memiliki anti-toxoplasma dan anti-rubella yang konon katanya disebarkan oleh hewan peliharaan.

Yah, mungkin itulah sedikit yang ingin kuceritakan dan kubagikan mengenai spesies hewan yang satu ini. Mungkin tulisan ini bisa sedikit membuka wawasan tentang kehidupan bersama seekor kucing. :D

1 komentar:

  1. Kucing aku perutnya juga masih besar. Aku takut kucingku juga seperti faye. Terus nafsu makannya jg berkurang. Tanda-tanda yg faye alami itu seperti apa aja ya selain yg diatas?

    BalasHapus