Seminggu kemarin mungkin adalah salah satu minggu terberat yang kualami selama tahun ini. Padahal selama ini jarang-jarang aku menyerah terhadap deraan masalah, tapi seminggu kemarin sepertinya batas ketahananku sudah melewati titik puncaknya.
Pertama-tama suamiku jatuh sakit, setelah sembuh, giliran anakku yang jatuh sakit. Seolah belum cukup, pembantuku yang biasa membantu mengasuh si kecil pun jatuh sakit dan minta pulang kampung. Ditambah lagi tamu bulananku memilih datang pada hari itu. Sakit kepala, sakit kaki dan mulas-mulas pun menemani hari-hariku. Akhirnya aku dan suamiku memutuskan untuk bergilir antara menjaga toko dan mengasuh anak yang sakit.
Untungnya anakku yang besar sudah berusia 11 tahun dan sudah mandiri sehingga kami tidak terlalu dipusingkan olehnya. Benarkah? Dalam 2 minggu terakhir kami sudah 2 kali dipanggil menghadap wali kelasnya. Belum lagi teguran-teguran dan keluhan yang disampaikan lewat telepon dan yang ditulis di agenda sekolahnya. Belum 1 semester berlalu, sudah 15 kelalaian yang menghiasi buku kejadian anakku yang satu ini. Ditambah lagi 3 kali menghilangkan prakarya, 2 kali ketinggalan melodion di sekolah, 1 kali lupa ulangan susulan, hampir tiap minggu “lupa” piket, dan kejadian-kejadian lain mulai dari mengejar-ngejar temannya sambil membawa kursi, menulis kata-kata “ajaib” di papan tulis, sampai secara tidak sengaja melukai lengan temannya dengan cutter pada saat pelajaran ketrampilan. Jadwal kami pun bertambah dengan jadwal pertemuan dengan psikolog perkembangan anak.
Selain masalah-masalah di atas, keadaan keuangan pun turut menyumbangkan pengaruhnya dalam menguji ketahanan iman dan mentalku. Beberapa minggu belakangan ini toko begitu sepi dan lesu, sementara tagihan-tagihan dari pesanan-pesanan sebelumnya terus berdatangan. Biasanya kami selalu membayar tagihan tepat pada waktunya. Kalaupun ada kekurangan dana, paling-paling kami menggesernya hanya beberapa hari dan itu pun masih dalam tenggat waktu yang memang disediakan. Tapi kali ini, hampir semua tagihan molor lebih dari sebulan. Tagihan yang jatuh tempo terus bertambah sementara pendapatan tidak juga membaik. Padahal kami harus membayar biaya pendaftaran pendidikan untuk masuk TK bagi anak bungsu kami, belum lagi berbagai cicilan yang masih kami perjuangkan dari bulan ke bulan.
Puncaknya adalah suatu hari di hari Selasa. Saat itu giliran suamiku yang menjaga anak di atas, sementara aku menjaga toko di bawah, sambil membereskan bon-bon yang membuat kepalaku berdenyut-denyut. Tiba-tiba datanglah seorang ibu-ibu bersama suaminya yang rupanya adalah seorang aparat keamanan (lengkap dengan seragam loreng-loreng dan sepatu botnya). Mereka mengeluh karena katanya oven yang mereka beli di toko kami penyok dan kacanya retak. Padahal semua barang yang kami jual pasti kami buka dan kami selalu mempersilahkan konsumen untuk memeriksa kelengkapan dan kualitasnya. Atau apabila konsumen yang meminta, karyawan kami akan memeriksakannya di hadapan konsumen. Singkat cerita, kami setuju untuk mengganti barang tersebut dengan yang baru. Pada waktu kami memeriksa barang yang dikembalikan oleh konsumen tersebut, tampak bagian atas dari oven itu agak kehitaman (seperti bekas dipakai). Aku pun member instruksi untuk mengganti bodi dan kaca oven, tetapi bagian atasnya tetap menggunakan bagian atas oven yang dikembalikan tersebut. Rupanya bapak aparat tidak terima dan ia pun marah-marah di toko kami, mengutuki toko kami yang katanya menjual barang jelek, menantangku berkelahi karena merasa dituduh sudah memakai oven padahal belum, juga hampir memukul karyawan kami yang kebetulan melayani bapak tersebut. Akhirnya aku mengalah dan menyerahkan oven yang baru kepada bapak tersebut, bahkan juga meminta maaf kepada bapak tersebut karena aku tidak ingin terjadi keributan di toko. Tapi aku sangat menyayangkan karena banyak sekali oknum aparat yang berperilaku arogan, mengancam dan sewenang-wenang di negara ini.
Seolah tak cukup, begitu bapak tersebut pergi sambil-marah-marah, datang lagi seorang ibu yang marah-marah dan menuduh bahwa termos yang kujual palsu dan jelek karena tidak panas. Apalagi ibu ini tidak membawa nota pembeliannya dan termos tersebut menurut pengakuannya sudah dibeli lebih dari sebulan yang lalu. Akhirnya aku pun mengganti termos tersebut dengan yang baru hanya karena supaya masalahnya cepat selesai, padahal aku tahu aku sepenuhnya berhak menolak mengganti termos tersebut karena si ibu tidak memawa nota pembelian yang membuktikan bahwa dia benar membelinya di toko kami. Dan kalau saja kepalaku tidak begitu sakit dan balon emosiku tidak begitu penuh sampai sedemikian tipisnya, mungkin aku tidak akan mengganti termos itu.
Belum lagi si ibu pergi dari tokoku, karyawanku yang bertugas menjemput anakku dari sekolah menelepon bahwa mereka akan pulang terlambat karena anakku sedang menjalani hukuman dari gurunya. Kali ini karena menusuk temannya dengan jarum pentul yang ditemukannya di halaman sekolah.
Begitu aku menutup telepon, di hadapanku berdiri seorang kolektor perusahaan panci yang memberikan kontra bon baru untuk bon-bon yang telah jatuh tempo senilai hampir 40 juta (karena memang bulan sebelumnya ada pesanan panci dalam jumlah yang cukup besar).
Pandanganku langsung terasa gelap, telingaku mendenging, dan dadaku serasa akan meledak. Setelah kutandatangani kontra bon itu, kukunci pintu laci kas, dan aku pun berlari ke atas, meninggalkan semua karyawan dan konsumen yang sedang berbelanja di tokoku.
Suamiku sedang tertidur sambil menunggui anak bungsuku yang sedang sakit tidur siang. Tanpa bersuara aku bersimpuh di samping tempat tidur dan meletakkan dahiku di dadanya, lalu mulai menangis tanpa dapat dikendalikan lagi. Rasanya semua beban ini terlalu berat, dan rasanya jalan keluar atau penyelesaian masalah tak tampak sedikit pun dalam jarak pandanganku. Rasanya pencobaan ini begitu berat dan kesabaranku sudah terkuras habis.
Suamiku terbangun dan setengah bingung menanyaiku apa yang telah terjadi. Aku tak sanggup menjawab, hanya menangis dan menangis. Terdengar karyawanku berseru-seru, “Ci, bayaarrrr!!” Untunglah saat itu anakku yang sulung pulang dan suamiku pun menyuruhnya menunggui toko dulu.
Dengan sabar suamiku memelukku sambil menungguiku berhenti menangis. Akhirnya, walaupun sambil menangis, aku berhasil juga menceritakan apa yang terjadi hari itu dan kekhawatiranku mengenai anak dan toko kami.
Suamiku mengingatkanku untuk berserah kepada Tuhan, mengingatkanku bahwa tak ada suatu masalah pun yang lebih besar dari kuasa Tuhan. Akhirnya ia mengajakku untuk berdoa, menyerahkan masalah kami di kaki Yesus, yang kuasa dan kasihnya selama ini tidak pernah mengecewakan kami.
Aku sungguh bersyukur mempunyai seorang suami yang bisa menopangku di saat aku lemah. Kuharap aku juga selama ini bisa menjadi penolong yang menopangnya di saat dia lemah. Dan terutama aku bersyukur karena kami mempunya Allah yang begitu baik dan dahsyat, yang mencukupkan dan menolong pada waktunya.
Memang semua masalah tidak selesai begitu saja. Hutang-hutang masih harus dibayar sedikit demi sedikit, puji Tuhan rata-rata supplier kami mau mengerti dan memberi kelonggaran waktu. Konseling dengan psikolog anak pun masih berjalan, dan puji Tuhan dalam prosesnya kami pun belajar banyak mengenai anak kami dan diri kami sendiri. Kami sadar bahwa tekanan stress pada diri kami rupanya juga berdampak pada anak-anak kami. Kami juga disadarkan bahwa anak ini, yang selalu membuat kami dipanggil pihak sekolah, adalah juga anak yang merelakan uang makannya untuk membelikan mamanya setangkai bunga di hari valentine, juga anak yang sama yang membelikan boneka lumba-lumba untuk adiknya pada saat berdarmawisata ke sea world bersama sekolahnya. Kesehatan anakku yang bungsu pun mulai membaik, walaupun pembantuku belum kembali dari kampung karena belum sehat benar.
Tapi pelajaran yang kupetik dari minggu itu adalah, pertama, betapa lemahnya kita manusia, dan betapa seringnya kita lupa untuk berserah dan melibatkan Tuhan dalam menghadapi hidup ini, betapa kerasnya pun kita berusaha, mengandalkan kekuatan diri sendiri, tak ada masalah yang bisa kita selesaikan sebaik Tuhan kita menyelesaikannya. Kedua, batapa pentingnya membangun segalanya di atas dasar iman, termasuk membangun keluarga dan perkawinan. Ternyata santapan rohani setiap hari, saat teduh secara rutin, mezbah keluarga, dan doa bersama menjadi sumber kekuatan yang memampukan kita tetap berpegang pada-Nya saat keluarga kita menghadapi masalah atau cobaan hidup yang selalu ada di sekitar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar