Rabu, 23 Juni 2010

Kisah Freeia dan Vorg part.6

Samar-samar didengarnya suara yang begitu merdu menyeruak masuk ke alam mimpinya. Lebih merdu dari kicauan burung-burung di musim semi, lebih merdu dari koor jangkrik-jangkrik di malam musim panas. Suara yang merasuk ke dalam kalbu. Suara apakah ini?

Hangat. Seluruh tubuhnya terasa begitu hangat dan nyaman. Rasanya sudah lama sekali Freeia tidak merasakan kehangatan seperti ini. Aliran dingin sedingin air es yang mengaliri tulang-tulangnya kini digantikan aliran hangat darah yang terasa mencair kembali di setiap pembuluh darah di sekujur tubuhnya.

Sedikit-sedikit kesadaran mulai menguasainya dan mengingatkan Freeia akan apa yang telah terjadi. Freeia menggeliatkan tubuhnya yang terasa kaku dan pelan-pelan ia duduk dan membuka matanya. Hei! Ia memakai selimut bulu. Ini kan mantel pemuda tadi? Tempat apakah ini? Bayangan api menari-nari di dinding dan langit-langit gua. Rupanya badai kembali bertiup karena didengarnya suara angin yang berputar-putar liar di luar sana. Freeia bangkit terduduk. Dilayangkannya pandangan ke sekeliling gua yang nyaman, api unggun yang menari-nari ceria dan menguarkan kehangatan ke setiap penjuru gua itu, dan… itu dia. Pemuda itu sedang duduk menyamping di mulut gua. Dan dia memainkan suatu alat musik yang mengeluarkan bunyi yang begitu merdu.
Freeia terpana memandang siluet Vorg di mulut gua. Tak dapat dilepaskannya pandangannya dari sosok tegap pemuda pucat berambut perak berantakan yang tampak begitu berkilauan sambil memainkan musik terindah yang pernah didengarnya.

Naluri Vorg merasa ada yang memperhatikannya. Secepat kilat ia menoleh dan mendapati Freeia tengah menatapnya dengan mulut sedikit terbuka dan rambut yang agak berantakan akibat berbaring di lantai gua.

Freeia terperangah, malu juga rasanya kepergok sedang menatap si pemuda tanpa berkedip seperti itu.
“Oh, kau sudah bangun rupanya,” kata Vorg.
“Maafkan aku tidak menyadari kalau kau tidak terbiasa dengan perjalanan seberat itu,” lanjutnya lagi dengan perasaan bersalah di wajahnya.
“Oh tidak! Aku yang minta maaf karena telah merepotkanmu,” kata Freeia tersipu. Tiba-tiba ia menyadari kalau kaki mungilnya kini tidak bersepatu, dan rona kemerahan semakin jelas di pipinya.

Keduanya terdiam canggung. Tetapi tiba-tiba terdengar sura geraman yang dalam dari perut Freeia. Vorg berpikir bahwa wajah Freeia tak akan dapat lebih merah dari saat itu. Dengan malu Freeia memegangi perutnya sambil nyengir kagok.
“Kau lapar ya? Maaf aku tidak punya makanan. Tadi badai keburu datang sebelum aku sempat mencari makanan. Seandainya aku punya tali, akan kucarikan makanan untuk kita. Tanpa tali aku takut tersesat dalam badai sebesar ini,” kata Vorg.
“Ehm… Aku punya tali. Kebetulan aku tadinya memang berencana untuk menjahit, jadi aku membawa tali peri,” ujar Freeia malu-malu.
“Tali peri? Apaan tuh?”
“Tali ini terbuat dari sayap peri yang sudah rontok dan terurai. Walaupun tipis, tali ini sangat kuat dan lentur,” Freeia menjelaskan dengan bersemangat.
“Tapi kau kan tidak punya sayap?”
“Belum. Biasanya menjelang musim dingin sayap kami baru tumbuh. Ini kan baru musim gugur? Tapi kurasa dengan badai salju begini tak lama lagi sayapku akan tumbuh.”
“Baiklah. Aku pinjam dulu tali perimu. Akan kucoba mencarikan makanan untuk kita.” Dengan sigap Vorg menerima tali peri dari tangan Freeia dan beranjak menuju ke luar gua.
“E..eeh! Tunggu dulu. Ini, pakailah mantelmu.”
“Kau pakai saja mantel itu, supaya hangat.”
“Aku sudah cukup hangat. Lagi pula di sini ada api yang menghangatkanku. DI luar angin sangat kencang. Ayo, pakailah.”

Akhirnya Vorg pun setuju untuk memakai kembali mantel bulunya. Ia mengikatkan salah satu ujung tali peri ke sebuah batu yang besar dan berat, kemudian berjalan keluar menembus badai sambil mengulur gulungan tali di tangannya. Dengan tali itu, dia tinggal menyusuri sambil menggulung kembali tali itu untuk kembali ke gua, sejauh apa pun ia meninggalkan gua sepanjang tali itu mengijinkan.

Freeia menanti dengan cemas sambil mengawasi tali yang terikat kuat di batu. Dari waktu ke waktu tali itu akan bergerak-gerak. Kadang, untuk beberapa saat tali itu tak bergerak sama sekali. Freeia pun akan menatap tali itu lekat-lekat sambil berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Vorg. Saat tali itu kembali bergerak Freeia akan menghembuskan nafas yang tanpa sadar ditahannya dengan lega.

Setelah waktu yang dirasakan sangat lama oleh Freeia, akhirnya Vorg kembali. Seluruh tubuhnya, termasuk rambut dan wajahnya diselimuti salju, tetapi senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia membawa sepelukan makanan di lengannya. Ada akar-akaran, beberapa helai daun yang sudah setengah mongering dan sebuah ubi!
“Aku beruntung menemukan beberapa tanaman ubi di sebelah sana. Minimal kita tidak akan kelaparan di tempat ini. Untung ada tali perimu,” ujarnya senang.

Mereka pun duduk bersisian di depan api. Vorg mengeluarkan senjata tanduknya, menetakkannya pada ubi yang dibawanya, membelahnya menjadi beberapa bagian, lalu mulai membakar salah satunya. Tidak lama berselang, harum ubi bakar mulai memenuhi gua itu. Perut Freeia melenguh lagi, lebih keras dari yang pertama. Vorg tersenyum. Ia pun mengambil ubi yang sudah matang, membelahnya menjadi dua dan memberikan salah satunya kepada Freeia.
“Awas masih panas,” ujarnya mengingatkan.

Freeia meniupi ubi bakar yang panas itu dan mulai memakannya. Matanya yang bulat membesar keenakan. Daging ubi yang lembut, manis dan harum seperti itu belum pernah dirasakannya. Maklum, peri padang tidak pernah perlu untuk mencari makanan dengan menggali jauh ke dalam tanah. Cukup banyak biji-bijian, buah-buahan, tunas tanaman dan rumput-rumputan muda yang manis yang tumbih di atas tanah.

Vorg membakar potongan ubi berikutnya, dan sambil menggigit ubi bagiannya ia mengawasi Freeia yang makan dengan lahap, sesekali mengaduh dan mengipasi mulutnya yang terbuka dengan tangannya karena kepanasan.
“Kau belum pernah makan ubi yah?”
“Belum. Kami di padang makan biji-bijian, buah-buahan dan tunas-tunas rumput muda. Apakah semua makanan di tempatmu seenak ini?”
“Yahhh, tidak juga. Kalau beruntung kita dapat makan ubi, atau kutu. Tetapi biasanya kami makan akar-akaran, dedaunan, dan kadang-kadang kulit kayu.”

Freeia terbelalak menatap Vorg. Untuk sesaat ubi di tangannya terlupakan.
“Kutu? Kalian makan kutu? Dan kulit kayu? Ih! Pasti rasanya tidak enak,” wajah Freeia mengernyit membayangkan rasa kutu dan kulit kayu.
“Sebetulnya rasa kutu itu lumayan enak. Kaubakar sebentar, rasanya garing dan gurih. Tapi kalau kulit kayu memang tidak enak. Apa boleh buat, kalau sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan, kulit kayu pun jadilah.”
“Ngomong-ngomong, namamu siapa? Dari kemarin kau belum memberi tahu namamu.”
“Aku Vorg, peri hutan.”

Dan begitulah, sambil menunggu badai yang seakan tak akan pernah berlalu, mereka menghabiskan waktu dengan bercakap-cakap atau terdiam sambil memandangi api. Anehnya, Freeia merasa aman dan nyaman di samping pemuda ini. Dalam diam pun tidak ada kecanggungan. Rasanya seperti sepasang teman lama. Vorg pun merasa heran, belum pernah ia bercakap-cakap dengan siapa pun seperti dengan Freeia. Rasanya begitu alami. Dan keterbukaan serta keceriaan Freeia membuat hatinya terasa hangat, seperti menemukan sebuah rumah yang selama ini tak dimilikinya.

Ketika mereka lelah, karena mereka bahkan tak dapat membedakan siang dan malam, Freeia akan tidur di salah satu sudut gua sementara Vorg berbaring di sudut satunya. Vorg memaksa Freeia mengenakan mantelnya, sementara ia sendiri tidur berselimutkan sehelai daun lebar yang dijumpainya di luar gua.

Tali peri sangat berguna. Vorg memakainya untuk mencari ranting kayu untuk menjaga api tetap menyala, juga untuk mencari makanan. Dan mereka berdua memakainya bila ingin buang air di luar gua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar