Rabu, 23 Juni 2010

4 Sekawan part.2 (The Reunion)


Akhirnya, terjadi juga reuni 4 sekawan yang dinanti-nanti. Lokasinya di rumah Amul, waktunya Hari Minggu jam 11 siang (menjelang makan siang). Acaranya makan siang bersama dan ngobrol ngalor ngidul tentunya.

Sejak beberapa hari sebelumnya aku sudah berkirim-kiriman SMS dengan anggota 4 Sekawan lainnya, memastikan kehadiran mereka dan mengatur menu yang akan disajikan untuk acara makan siang bersama nanti. Diputuskan setiap orang akan membawa makanan untuk kemudian memakannya bersama-sama.

Seperti anak sekolah menanti rencana darmawisata, kami pun tidak sabar menanti hari reuni kami. Bahkan malam hari sebelum hari H aku sempat bermimpi sedang berkumpul bersama teman-teman 4 sekawanku.

Akhirnya, hari minggu pun tibalah. Betapa senangnya kami berkumpul kembali. Amul masih agak montok setelah melahirkan. Tapi kami sepakat bahwa dia tampak lebih sehat, karena sebelum hamil Amul itu sangat mungil dan kurus (walaupun paling galak) sampai-sampai kalau ke mal dia lebih sering berbelanja baju di counter anak-anak daripada di counter baju wanita dewasa. Mencari baju hamil yang pas dengan ukuran tubuhnya pun sangat sulit, karena baju hamil ukuran S pun masih kebesaran untuknya.

Putrinya yang sangat cantik lahir dengan berat 2,355 kg, cukup kecil, tapi sangat sehat dan stabil. Luar biasa! Berkat kegigihan si ibu yang selalu mengatur pola makan dan menghitung gizi yang masuk dengan seksama. Padahal dia tidak dianugerahi nafsu makan yang meningkat seperti yang dialami aku dan Wina semasa kehamilan kami. Bayangkan, sewaktu aku hamil, makanan yang tadinya tidak kusuka pun menjadi enak di lidahku. Setiap melihat orang makan, aku akan ikut makan karena tergiur, walaupun aku baru saja selesai makan. Sedangkan Amul, walaupun diserang mual berkepanjangan dia harus menjadwal dan memaksakan diri untuk makan setiap beberapa jam sekali, menunya pun bergizi lengkap dan seimbang. Yahhh, itu lah Amul yang perfeksionis, dia bahkan menghindari semua makanan enak dan jajanan yang dianggapnya kurang sehat, tidak seperti aku dan wina yang semakin getol jajan sewaktu hamil. Kami pikir itu kesempatan makan tanpa merasa takut gemuk, hahaha…

Ide-ide kreatif dan jiwa pengarangnya pun sempat memuncak di masa kehamilannya. Sayang, ide yang muncul selalu cerita horror atau pembunuhan, atau tentang psikopat, sampai-sampai kadang ia ketakutan sendiri saat menulis sebuah cerita seram. Akhirnya suaminya melarangnya untuk menyalurkan ide-ide itu ke dalam bentuk tulisan, khawatir penghayatan dan emosi nya dalam menulis akan mempengaruhi emosi si janin.

Adag pun tampak segar sepulangnya dari Negeri Kanguru. Masih tinggi besar dan ramai seperti dulu. Juga masih sangat kocak. Di pertemuan pertama kami pun, dia sempat terjatuh di tangga. Tanpa sempat mengerem sekitar 6 anak tangga dilewatinya berturut-turut dengan kecepatan tinggi sambil terduduk. Waduh! Untung Adag tidak cedera. Sudah lama sekali kami tidak tertawa terpingkal-pingkal sampai sakit perut seperti itu.

Dia juga tambah cantik dan feminin. Penampilannya apik dan modis walaupun dia tidak memakai pakaian yang wah dan hampir tanpa aksesori. Memang dari dulu dia bisa menentukan gaya yang pas dengan tubuh dan wajahnya, tidak percuma jadi anak pemilik butik pakaian wanita, ya Dag? Tapi jangan terkecoh dengan penampilan manisnya. Dia masih sama kuatnya seperti dulu, mungkin lebih akibat gemblengan bekerja sebagai chef profesional di Australia sana. Jam kerjanya kadang mencapai 17 jam sehari. Aku sebagai ibu rumah tangga yang memasak untuk keperluan makan keluarga sendiri saja kadang merasa lelah setelah memasak, padahal 3 jam pun tidak.

Pernah sekali dia menolong seorang temannya yang dianiaya oleh kekasihnya sendiri. Seorang pria Korea pengangguran yang setelah ditampung di rumahnya malah memanfaatkannya dan akhirnya berani memukulinya. Begitu temannya menelepon minta tolong, Adag langsung datang dengan amarah membara. Cowok Korea itu pun tak berkutik ketika Adag memarahinya habis-habisan. Setelah itu Adag meminta dan menahan paspornya. Diperintahkannya pria itu mengambil uang di bank untuk mengganti barang-barang temannya yang sempat dirusaknya. Setelah semua kerugian diganti, tanpa belas kasihan diusirnya pria itu dari rumah temannya beserta seluruh barang miliknya. Kebetulan pria itu tidak mempunya tas atau pun koper. Dengan tega Adag menggiringnya keluar sambil membawa tumpukan barang dan pakaian di tangannya. Untuk mencegah teror dari pria itu Adag menginap seminggu di rumah temannya. Untunglah, karena memang ternyata beberapa kali pria itu sempat berusaha mendekati temannya lagi. Hah! Puas sekali rasanya mendengar keadilan ditegakkan. Hidup Adag!

Wina datang dengan putrinya yang manis dan cerdas yang sudah berusia 3 tahun. Masih kalem seperti dulu. Yang termanis di antara kami ber-4, Wina masih tetap menjadi pinguin kesayangan kami. Walaupun sekarang sudah tidak galling (keriting) lagi. Rambutnya yang lebat dan indah kini lurus di-rebonding. Kacamata nya pun kini diganti dengan softlens, membuat mata kucingnya tampak semakin eksotis disandingkan dengan lesung pipitnya. Memang Wina ini agak sedikit terlambat mekarnya. Tapi bunga yang mekar terakhir biasanya yang paling indah bukan? (Mengutip dari film Mu Lan, hehehe…). Aku yakin tak sedikit juga cowok-cowok yang akan menyesal kalau melihat Wina sekarang. Yang terang-terangan menyatakan penyesalan padaku saja sudah 2 orang. Wina juga masih senang tertawa. Sepanjang sesi obrolan kami, tak henti-hentinya dia terpingkal-pingkal sambil mengusap ujung matanya mendengar cerita-cerita seru Adag. Audrey, putrinya, tak henti-hentinya bertanya, “Ada apa Mih? Apa katanya Mih?” Sementara Wina hanya bisa menjawab di sela-sela tawanya, “Ngga, itu tadi ceritanya lucu.”

Memang Kepribadiannya yang lembut dan keibuan tampak jelas dari caranya menangani putrinya. Menyuapinya dengan telaten, mengajarinya berdoa sebelum makan, menidurkannya di sofa rumah Amul, sampai mendandaninya dengan pakaian dan aksesori yang manis dan pantas, lengkap dengan ekor kuda di kepala mungilnya. Sungguh beruntung suaminya mendapatkan Wina sebagai istri. Profesi sebagi guru sekolah dasar juga kelihatannya cocok untuknya. Dia sangat menikmati pekerjaannya sebagai wali kelas 5, walaupun kadang ada anak yang menjengkelkan dan kejadian yang menyebalkan.

Ada seorang muridnya, yang sebenarnya cerdas tapi sering melamun dan kurang perhatian. Suatu hari Wina dalam pelajaran Biologi mengajarkan tentang perbedaan Frog (katak) dan Toad(kodok), karena di sekolah tempatnya mengajar memang bahasa pengantar yang digunakan adalah Bahasa Inggris dan Indonesia. Setelah menjelaskan panjang lebar, Wina pun memberikan kesempatan pada murid-miridnya untuk bertanya.
“Any question, class?”
Si anak yang tukang melamun tadi mengangkat tangan, Wina pun megangguk ke arahnya untuk mempersilahkannya bertanya.
“Miss, kalo katak sama kodok bedanya apa?”
Gubrak! Kami pun tertawa terbahak-bahak tanpa sempat memikirkan jawaban apa yang diberikan Wina pada muridnya itu.

Yang terakhir, aku sendiri, San San. Masih sama cerewetnya, masih juga menjadi mobilisator kelompok. Biasanya aku lah yang menjadi EO untuk acara-acara kebersamaan kami, termasuk reuni kali ini. Secara fisik pun aku tidak banyak berubah, masih sederhana, masih anti make up. Hanya bertambah gemuk berkat saham lemak dari kedua jagoan cilikku, monumen peringatan bagi statusku sebagai mama.
Aku datang bersama suami dan putra bungsuku yang seusia dengan putri Wina, sementara putra sulungku yang berusia 11 tahun memilih untuk bermain game di rumah daripada ikut ke “acara ngobrol ibu-ibu” menurut bahasanya.

Setelah puas melepas kangen dan saling mengomentari, kami pun diajak melihat bayi Amul. Untuk beberapa lama kami asyik mengagumi dan mengajaknya bermain, karena ternyata anak-anak kami pun terpesona dan sangat senang membelai-belai kaki “si Dede”.

Dan karena ada anak-anak, aku dan Wina pun menyuapi dahulu anak-anak kami sebelum acara makan siang dimulai. Amul dan Adag pun turut membantu dengan berbagai cara, mulai dari menyemangati, menantang balapan, menawarkan hadiah, sampai mengingatkan untuk mengunyah atau mengisi kembali mulut yang kosong ke mama masing-masing. Berkat bantuan mereka, kami pun berhasil menyelesaikan tugas memberi makan anak-anak dalam waktu yang relatif cepat.

Acara makan siang yang sesungguhnya baru dimulai sekitar pukul 2 siang. Tetapi walaupun terlambat, makan siang kali itu sangat memuaskan karena makanan yang dibawa begitu beragam dan berlimpah. Aku membawa lotek dan rujak ulek lengkap dengan kerupuk aci 2 toros. Suami Amul membeli soto Bandung yang dibumbui dengan jeruk nipis yang dipetik langsung dari pohon di halaman rumah Amul. Adag membawa baso ikan isi daging cincang dengan kuah ayam dan irisan bawang daun dan bawang goreng renyah. Harumnya sungguh menggugah selera,apalagi kami sudah membauinya dari tadi ketika menyuapi anak-anak nasi dengan baso ikan yang dibawa Adag ini. Dan Wina membawa es campur Pa Oyen yang tersohor itu. Melihat bungkusannya yang berembun saja sudah membuat kami menitikkan air liur di hari yang teramat panas itu.

Setelah kenyang dengan berbagai santapan yang lezat, akhirnya kami pun duduk di ruang tamu sambil mengobrol ngalor-ngidul ditemani kipas angin dan rujak ulek dingin yang segar. Sementara itu suamiku dan suami Amul pun ternyata mengobrol asyik juga ditemani semangkok rujak ulek segar, dan anak-anak kami juga asyik bermain rujak-rujakan dengan buah-buahan plastik di karpet yang dihamparkan di lantai. Sayang suami Wina tidak datang. Aku sangat bahagia dan bersyukur karena keluarga kami ternyata bisa cocok dan bersahabat juga.

Tanpa terasa hari pun beranjak semakin sore. Chris dan Audrey mulai rewel karena mengantuk, Vely pun menangis minta susu. Suamiku yang pengertian mengajak Chris pulang untuk tidur siang, dan Wina menidurkan Audrey di sofa, sementara Amul masuk ke kamar untuk menyusui Vely. Tinggal aku dan Adag mengobrol berdua. Topik pembicaraan kami kebanyakan mengenai perbedaan budaya dan gaya hidup di Aussie dan di Indonesia.

Setelah Amul selesai menyusui Vely dan Audrey tertidur nyenyak, kami pun melanjutkan obrolan kami. Kali ini di hamparan karpet yang tadi menjadi tempat bermain anak-anak. Topik kali ini adalah aib kami di masa lalu. Topik yang sukses membuat kami tertawa terpingkal-pingkal sampai keram perut dan berurai air mata.

Aib Wina adalah ketika dia spontan menjerit di Toko Buku Gramedia waktu mendapatkan foto idolanya. Ceritanya begini, waktu itu sepulang sekolah kami pergi ke Gramedia untuk berjalan-jalan, sesuatu yang sering kami lakukan karena kebetulan letaknya tidak jauh dari sekolah. Ketika itu di kalangan anak-anak ABG sedang tren membeli dan tukar menukar kartu bergambar foto bintang film/penyanyi idola remaja saat itu. Caranya, dengan membeli koin, memasukkannya ke mesin, lalu menarik tuas untuk mengeluarkan kartunya. Jadi,kartu yang didapat pun tidak dapat dipilih melainkan untung-untungan.
Siang itu Wina iseng membeli sebuah koin dan mencoba menarik tuas mesin kartu yang ada di Gramedia. Ternyata kartu yang didapat adalah idola kesayangan Wina. Spontan dia menjerit sekeras-kerasnya. Semua kepala serentak menoleh ke arah kami. Perlahan Amul berbisik, “Ayo! Cepet pergi!” dan kami pun berjalan secepat-cepatnya ke pintu keluar. Sesampainya di luar barulah kami tertawa terbahak-bahak. Itulah senangnya mempunyai sahabat-sahabat. Semua kejadian, yang memalukan sekalipun bisa jadi menyenangkan kalau dijalani bersama.

Aibku adalah ketika mengikuti ujian lari untuk nilai akhir semester. Guru olah raga memegang stop watch untuk menghitung berapa waktu yang diperlukan tiap murid untuk menempuh jarak 10 keliling lapangan sepak bola yang luar biasa lebarnya. Sekali tiupan peluit 3 siswa diberangkatkan, dan setelah ketiga siswa tersebut selesai, 3 siswa berikutnya diberangkatkan, dan demikian seterusnya. Biasanya di putaran keenam murid-murid sudah mulai tidak sanggup berlari dan mulai berjalan, diselingi dengan lari-lari kecil. Pada putaran terakhir seringkali murid-murid sudah harus menyeret kakinya sampai ke garis finish dan langsung duduk untuk beristirahat.
Waktu itu, ketika tiba giliranku, aku pun mengalami kelelahan yang sama. Di putaran keenam nafasku sudah kembang kempis. Pinggang kananku sudah terasa sakit dan kerongkonganku sudah terasa kering. Aku pun mengendurkan langkahku dan mulai berjalan. Di putaran kedelapan, saat aku merasa hampir-hampir tidak kuat lagi melangkah, tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Ternyata, kait pakaian dalam (bra)-ku lepas! Kurasakan wajahku memucat. Apa yang harus kulakukan? Akhirnya sebisa mungkin aku menekankan lenganku di samping tubuh agar tidak kelihatan kalau bra-ku lepas. Secepat mungkin aku berlari untuk menyelesaikan jatah 10 putaranku. Teman-teman yang menonton di sisi lapangan tampak takjub melihatku bahkan semakin bersemangat di putaran terakhir (walaupun gaya berlariku mungkin tampak sedikit aneh). Begitu mencapai garis finish di putaran terakhir, bukannya duduk kelelahan seperti yang lainnya, aku malah meneruskan lariku langsung ke arah WC putri.

Orang-orang mengira aku kebelet pipis atau sakit perut, tapi beberapa teman yang jeli akhirnya tahu kejadian yang sebenarnya. Aduh, malunya!

Aib Amul adalah ketika ia mengagetkan Papa Adag. Hari itu sepulang sekolah, kami berempat sepakat untuk berkumpul di rumah Adag yang memang bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari sekolah.

Sesampainya di rumah, Adag masuk ke dalam untuk menyimpan tas sekolahnya di kamarnya. Sambil masuk ke dalam, Adag menutup pintu geser yang membatasi ruang tamu dengan ruangan dalam rumahnya. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara pintu geser yang akan dibuka, lalu tampaklah ujung jemari seseorang di celah pintu yang mulai bergerak terbuka. Tiba-tiba muncul ide iseng di dalam kepala Amul untuk mengejutkan Adag. Dia perlahan berdiri dari duduknya dan tepat saat pintu terbuka ia pun melompat sambil berteriak sekeras-kerasnya, “DARRRR!!!!!”

Ternyata orang yang muncul di ambang pintu adalah Papa Adag. Demi mendengar teriakan Amul, spontan beliau mengangkat sebelah tangan ke atas kepala dan mengangkat sebelah kaki dengan posisi menyerang gaya kung fu sambil berteriak “HAII-YAAA!!!”

Untuk sesaat semua orang diam terpaku di tempatnya masing-masing bagaikan adegan film yang di-pause dengan remote control DVD player. Saat berikutnya terasa sangat canggung dan serba salah.
“Eh! Maap Om, kirain teh Ingrid…,” Perlahan Amul berkata dengan wajah memerah.
“Eh! Vera… I..Iya ngga papa…,” Papa Adag menjawab sambil menurunkan tangan dan kakinya ke posisi semula, lalu ngeloyor keluar rumah. Ternyata beliau memang sedang bermaksud untuk ke luar rumah.
Sementara itu aku dan Wina berdiri di sudut ruang tamu Adag sambil menyembunyikan wajah kami di balik tirai jendela. Dan Adag, yang ternyata berada tepat di balakang papanya, tampak menutup mulutnya menahan tawa.

Begitu terdengar suara mobil dihidupkan dan meninggalkan halaman rumah, kami semua (kecuali Amul tentunya) meledak tertawa terpingkal-pingkal sampai tidak sanggup berdiri lagi. Ketika akhirnya tawa kami mereda dan kami mengusap ujung mata kami dengan lengan seragam kami, tampak wajah Amul yang begitu merana antara malu dan kesal.
“Jahat! Bukannya bantuin malah pada ngetawain!”
Otomatis kami pun meledak tertawa lagi, kali ini sampai perut kami kejang-kejang karenanya.

Aib Adag adalah ketika wajahnya terkena bola. Adapun waktu itu diadakan pertandingan sepak bola antar kelas. Seperti biasa Adag dan Amul pun hadir di samping lapangan untuk memberi semangat sekaligus untuk “ngeceng” karena “kecengan-kecengan” mereka turut bertanding sore itu (Kebetulan aku dan Wina tidak ada di sana karena kami tidak sekelas dengan Adag dan Amul). Cewek-cewek rela berbecek ria di sisi lapangan yang baru kemarin disiram hujan demi untuk melihat jagoan-jagoannya beraksi.

Kira-kira di pertengahan jalannya pertandingan, ketika para cewek sedang asyik mengobrol, tiba-tiba seseorang berteriak, “Awaaassss!!!”
Semua orang menoleh ke arah lapangan dan melihat bola mendekat ke arah penonton. Aku yakin apabila adegan itu di-film kan pasti sutradara akan merekamnya dengan fitur gerak lambat (slow motion) karena bola itu mendarat dengan keras tepat di tengah wajah Adag. BUK! Bola yang belepotan lumpur itu menghantam keras wajah Adag sebelum dia sempat menghindar. Sebuah bulatan coklat kehitaman terpeta tepat di tengah wajah Adag. Si penendang bola berlari-lari ke pinggir lapangan sambil meminta maaf, dan Amul bersama dengan seorang teman buru-buru mengantar Adag ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Ketika Adag sedang mencuci muka, Amul dan temannya tidak tahan untuk tidak tertawa mengingat kejadian barusan. Dengan ekspresi kesal Adag pun keluar dari kamar mandi.
“Kurang ajar! Malah ngetawain!”
Muka Adag kini bersih dari lumpur, tetapi sebagai gantinya kini di wajahnya ada bulatan merah dengan pola kotak-kotak seperti bola sepak. Melihat itu Amul dan temannya langsung terbahak-bahak tanpa bisa dikendalikan lagi. Sementara Adag blingsatan mencari cermin untuk melihat keadaan wajahnya.

Aaahhh… hari itu sungguh menyenangkan. Tanpa terasa kami mengobrol sampai pukul delapan malam. Itu pun karena suami Wina menelepon menanyakan kepulangan Wina dan putrinya. Kalau saja suami Wina tidak menelepon, mungkin kami lupa untuk pulang. Rasanya waktu bagaikan terbang saja jika kita sedang bersenang-senang bukan?

Aku sangat senang karena persahabatan kami bisa terjalin sampai sekarang. Mudah-mudahan persahabatan ini akan berlanjut sampai ke anak-cucu kami nantinya. Rencananya kami akan mengadakan acara kumpul-kumpul sekali lagi sebelum Adag harus kembali pulang ke Australia. Doakan semoga jadi ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar