Sejak melahirkan anak ke-2 kami (Christopher) di tahun 2006, saya dan suami selalu tidur terpisah. Kami tidak mempunyai box khusus untuk bayi dan kebetulan saudara-saudara kami yang memiliki anak kecil masih menggunakan box miliknya atau sudah keburu memberikan atau meminjamkannya kepada orang lain. Sementara untuk membeli yang baru kami rasa biayanya terlalu besar. Karena itu Chris si bayi tidur bersamaku di kamar utama sedangkan suamiku tidur bersama Lucky, anak kami yang sulung di kamar anak-anak.
Sekarang Chris sudah berusia lebih dari 3 tahun dan kami sedang berusaha untuk melatihnya tidur di tempat tidurnya sendiri di kamar anak yang memang sudah kami persiapkan untuknya.
Proyek ini kami awali dengan merubah tata letak perabotan di kamar anak-anak. Kedua ranjang yang tadinya dipisarkan oleh meja belajar kami geser ke sudut kamar hingga berjejer dengan sisi kanan dan atas dari ranjang Chris menempel pada dinding dan sisi kirinya menempel pada sisi kanan ranjang Lucky. Maksudnya untuk meminimalisir resiko Chris terjatuh dari ranjang karena ia adalah seorang anak yang sangat aktif bergerak bahkan di saat tidur sekalipun. Terkadang dalam semalam Chris bisa bergerak hingga membentuk 2 atau 3 putaran penuh.
Chris dan Lucky sangat senang dan bersemangat karena dilibatkan untuk suatu proyek keluarga. Dan mereka juga senang karena aktifitas memindahkan seisi perabot kamar buat anak-anak seperti mereka adalah suatu keasyikan tersendiri. Dengan penuh semangat mereka membantu mendorong dan menggeser perabotan di kamar, walaupun dalam prakteknya mereka lebih banyak merepotkan daripada membantu, tetapi kita sebagai orang tua harus mendukung antusiasme dan memberi apresiasi atas bantuan mereka bukan?
Setelah itu giliran memindahkan perkakas tidur ke tempat yang baru. Bantal, guling dan selimut Papanya mereka pindahkan ke ranjang Mamanya (Senangnya hatiku! Blink! Blink!). Setelah itu perkakas tidur Chris yang terdiri dari bantal, guling, beberapa boneka dan baju meng (kaos lusuh berwarna putih bergambar kucing yang warnanya sudah tidak putih lagi tetapi selalu dibawanya tidur sejak kecil) dipindahkan ke kamar anak-anak. Mereka juga menata sendiri ranjang dan meja mereka di kamar yang “baru”. Sempat juga terjadi ribut-ribut kecil gara-gara rebutan boneka anjing, tetapi secara keseluruhan semuanya berjalan dengan sangat baik.
Dengan hati senang aku dan suamiku berpikir bahwa prosesnya ternyata tidak sesulit yang kami duga sebelumnya. Kami pun memberi Chris banyak pujian karena ia sudah menjadi anak besar yang berani tidur di ranjang sendiri.
Malam pertama dimulai dengan sangat baik. Dengan manis dan menurut Chris berbaring di ranjang “baru”-nya dan meminum susunya. Aku menemaninya sambil duduk di kaki ranjang sementara Lucky sudah tertidur pulas di ranjang sebelah.
Begitu susunya habis Chris langsung bangkit dari tidurnya. Ia duduk, menyerahkan botol kosongnya kepadaku seraya berkata,”Chris mau bobo di kamar Chris aja!”
“Loh, ini kan kamar Chris?” ujarku bingung sambil memandangnya turun dari tempat tidurnya.
“Ngga! Kamar Chris di sana. Papa aja yang di sini sama Koko,” ia pun mulai menyeret kembali perkakas tidurnya ke kamar kami.
“Eits! Nanti dulu. Itu bantal guling mau dibawa ke mana?” aku menghadang di hadapannya.
“Ke kamar Chris,” jawabnya renyah sambil berusaha mengitari tubuhku yang menghalangi jalannya.
“Kamar Chris sekarang di sini. Kan Chris udah gede,” aku membujuknya sambil berusaha menahannya. Tetapi Chris melepaskan diri dari peganganku di bahunya sambil terus melangkah ke kamar kami.
Sementara itu suamiku sedang menikmati malam pertamanya bersantai di kamar kami. Ia berbaring di ranjang yang kini bersih dari tumpukan boneka dan baju meng sambil menonton televisi. Chris melemparkan bantal gulingnya ke atas ranjang dan mendorong perut Papanya
“Papa bobo di sana sama Koko. Ini ranjang Chris!”
“Loh, ini kan ranjang Papa,” kata suamiku.
Tiba-tiba Chris menangis dan berteriak,’’ Ini kamar Chris, bukan kamar Papa!”
“O-ow! Pertarungan dimulai,” demikian pikir kami. Kami pun mulai membujuknya, berusaha untuk tidak menyerah karena kami tahu konsistensi adalah kunci utama keberhasilan disiplin. Ternyata anak kecil dengan bobot sedikit di atas 13 kg memiliki kepala dengan tingkat kekerasan mendekati intan dan daya juang yang bahkan akan membuat kagum para pejuang kawakan.
Akhirnya kami pun mencoba untuk bernegosiasi karena disiplin tanpa toleransi bukanlah disiplin yang baik dan efektif. Setelah tawar menawar yang lebih alot daripada transaksi ibu-ibu dan pedagang sayur di Pasar Andir, akhirnya tercapailah kesepakatan. Untuk malam itu Chris boleh tidur di kamar kami (bertiga, dia di tengah) tetapi semua perkakas tidurnya tetap di ranjang barunya (kecuali baju meng yang tidak bisa diganggu gugat harus hadir).
Setelah Chris tertidur, kami memindahkannya ke kamar anak-anak sambil berdoa semoga tengah malam Chris tidak terbangun dan minta pindah lagi ke kamar kami. Ternyata sepanjang malam itu ia beberapa kali terbangun dan berteriak,”Mama!” Tetapi puji Tuhan begitu aku berlari-lari muncul di kamarnya dan dan menemaninya, ia pun dapat tertidur kembali.
Malam kedua hampir persis seperti malam pertama. Kembali Chris (dan baju meng-nya) tidur di kamar kami dan kami pindahkan ke kamarnya setelah ia tertidur.
Malam ketiga Chris sudah mau tidur di kamarnya dan di ranjangnya sendiri, meskipun sampai ia tertidur aku harus menemaninya selama hampir 2 jam, menghabiskan 3 botol susu, 2 buku cerita dan nyanyian serta senandung dan “mpok-mpok” (tepukan-tepukan lembut di kaki Chris) yang tak terhitung banyaknya.
Malam-malam berikutnya Chris makin terbiasa tidur di kamarnya sendiri bersama si Koko. Tetapi sepanjang malam aku harus bersiap-siap mendengar teriakan ,”Mama!” dan berlari-lari ke kamar sebelah untuk menenangkan Chris beberapa kali dalam semalam. Rasanya seperti mempunyai bayi kecil lagi. Walhasil, selama beberapa minggu ini aku serasa berjalan di awan-awan dan tidak menjejak bumi karena kurang tidur.
Kadang-kadang karena malas bolak-balik ke kamar anak-anak, apabila Chris tampak belum nyenyak betul aku memilih untuk tidur meringkuk di kaki tempat tidurnya untuk beberapa waktu. Biasanya aku akan terbangun 1 atau 2 jam kemudian dengan sakit pinggang dan merayap ke kamarku sendiri.
Hal yang sama dialami oleh suamiku ketika aku tidak ada di rumah selama 3 hari 2 malam karena mengikuti suatu retreat. Tapi secara keseluruhan kami menikmati semua ini karena ini merupakan bagian dari tumbuh kembang anak kami yang akan menjadi kenangan manis di kemudian hari.
Sampai sekarang proyek ini masih terus berjalan dengan proses yang menunjukkan perkembangan yang positif. Satu lagi tahapan menjadi orang tua yang kami lalui dan kami syukuri.
Bagi mereka yang tidak mengalami, mungkin tidak terpikir bahwa hal ini merupakan suatu berkat tersendiri. Sekarang aku dan suamiku bisa tidur di dalam 1 kamar yang sama di atas ranjang yang sama setelah lebih dari 3 tahun kami pisah ranjang dan pisah kamar pula. Puji Tuhan! :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar