Rabu, 23 Juni 2010

Kisah Freeia dan Vorg part.8

Keesokan harinya, setelah sarapan sekedarnya dan mencuci muka dengan salju yang dicairkan, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini lebih mudah karena jalan yang mereka tempuh kini menurun. Dan kini mereka tahu arah mana yang harus ditempuh. Hal ini menambah semangat dan tenaga mereka untuk menempuh perjalanan.

Hari itu mereka lalui dengan gembira. Berjalan sambil bercengkrama dengan gembira membuat waktu dan jarak semakin tak terasa. Mereka pun semakin mengenal satu sama lain. Kini tahu bahwa warna kesukaan Freeia adalah warna kuning yang ceria, makanan kesukaannya adalah bili bunga matahari yang terpanggang sinar matahari dan bahwa peri padang lainnya tidak mempunyai warna kulit dan rambut yang saa dengan Freeia. Freeia pun kini tahu tentang serangan kelabang yang menewaskan kedua orang tua Vorg, tentang besarnya tanggung jawab dan sayang Vorg pada adik semata wayangnya, dan tentang kerasnya kehidupan di hutan belantara. Tapi soal warna favorit, Vorg menjawab seperti ini :
“Aku belum bisa memutuskan warna mana yang paling kusukai. Begitu banyak warna di luar sini sampai-sampai pusing aku melihatnya,” dan wajahnya benar-benar menunjukkan keseriusan dan kebingungan sampai Freeia tertawa terpingkal-pingkal melihat kepolosan Vorg yang perkasa namun lugu itu.

Sore harinya, sayap Freeia sudah cukup panjang untuk terbang. Freeia mencobanya dengan terbang beberapa puluh sentimeter kemudian turun kembali. Vorg terpana memandang Freeia yang tampak begitu indah dengan sepasang sayap keemasan yang bergetar dan memantulkan sinar matahari di rambutnya. Tanpa sadar ia bergumam pada dirinya sendiri.
“Emas… Ya…ya… Warna emas yang paling kusuka. Pendar emas di sayapmu, pendar keemasan di kulitmu, itu warna kesukaanku, ya…ya…”

“Kurasa besok sayapku sudah akan tumbuh sempurna,” Freeia berkata puas ketika kakinya kembali menjejak tanah.
“Beberapa hari lagi mungkin kita sudah akan sampai di rumahmu. Mari kita menginap di sini malam ini,” kata Vorg.
“Aku sudah tidak sabar lagi bertemu dengan teman-temanku,” Freeia berceloteh riang,” Untung cuaca tampak membaik dan tidak ada badai salju lagi.”

Baru saja Freeia selesai berucap, tiba-tiba langit menjadi gelap, angin pun bertiup semaikin kencang. Awan hitam keunguan bergulung-gulung dengan cepat di langit dan siulan badai yang sudah mereka kenal mulai terdengar di kejauhan dan dengan cepat mendekat. Vorg mengumpulkan ranting-ranting yang belum sempat dinyalakannya dengan sekali raup dan menarik tangan Freeia.
“Cepat! Kita harus mencari tempat berlindung!” teriak Vorg mengatasi deru angin.

Untunglah di dekat sana ada semacam ceruk sempit di dalam tanah di bawah sepetak semak-semak yang rimbun. Itu pun mereka temukan karena Vorg terperosok ke dalamnya saat merambah semak itu. Mungkin bekas sarang burung yang biasa membuat sarangnya di bawah semak-semak atau bekas sarang kelinci. Tidak senyaman gua yang mereka tempati waktu itu, tapi lumayan lah. Yang penting mereka cukup terlindung dari badai.

Dan benarlah, sesaat setelah mereka masuk ke dalam ceruk itu, badai mulai mengamuk di atas kepala mereka. Vorg kembali menyusun ranting-ranting kayu dan mulai menyalakannya.
“Untung kita punya cukup persediaan makanan untuk beberapa waktu,” katanya.
Setelah api menyala, karena belum terlalu lelah Vorg mengeluarkan alat musik taringnya dan mulai bermain.

Freeia duduk sambil memeluk lutut. Dagunya bertopang pada lututnya dan sayapnya menyelimuti tubuhnya. Matanya menerawang sambil memandang sosok Vorg yang tampak begitu… begitu… anggun? Agung? Entahlah. Yang jelas Freeia tidak dapat melepaskan pandangannya dari pemuda itu. Dan musik itu… Musik itu serasa menyihirnya, membayangkan rumah yang nyaman, taw aria bersama Vorg, anak-anak…
“Anak-anak?! Ya ampun! Apa ini yang kupikirkan?” rasa panas menjalar di pipinya dan Freeia buru-buru menggigit bibir bawahnya untuk menyembunyikan senyumnya. Untunglah Vorg begitu asyik dengan musiknya sehingga tidak memperhatikan Freeia.

Tiba-tiba Vorg berhenti bermain. Disimpannya alat musik taringnya dan ia meraih sepotong ranting yang menyala dari api unggun mereka.
“Mundur, dan jangan bergerak,” bisiknya sambil berdiri di hadapan Freeia
“Apa yang…?”
“Ssh! Ayo ikuti saja perintahku,” Vorg mendesis rendah.
Freeia beringsut mundur. Jantungnya berdegup kencang karena takut.

Perlahan bayangan sesosok makhluk raksasa merayap di dinding ceruk tanak itu. Freeia menyumpal mulutnya dengan kepalan tangannya sendiri untuk menahan teriakan yang keluar dari mulutnya. Bayangan hitam itu segera diikuti oleh sosok seekor kumbang hitam kehijauan yang sangat besar. Jauh lebih besar dari semua kumbang yang pernah dilihat Freeia. Dan kumbang ini tidak jinak dan lucu seperti kumbang-kumbang teman bermainnya di padang sana. Cangkangnya yang berkilat mengeluarkan pendar seperti pelangi. Keenam kakinya berkeretakan dipenuhi duri-duri kecil melengkung yang tampak sangat tajam. Matanya yang banyak terkumpul dalam 2 bola mata yang berwarna merah. Setiap mata kecilnya bergerak-gerak cepat bagaikan serpihan kaca berwarna merah di dalam gelembungnya. Dan sungutnya yang panjang dan berbulu kasar menampakkan gigi-gigi runcing, sepasang capit yang siap dikatupkan dan penghisap berlendir yang berputar-putar liar membaui calon mangsanya.

Freeia gemetar hingga ke sumsum tulangnya. Teriakannya tercekat di tenggorokannya dan mulutnya terasa kering. Freeia menatap Vorg dan kumbang raksasa itu bergantian. Pikirannya kalut dan telinganya berdenging keras.

Vorg mencoba menusuk kumbang itu dengan ranting berapi yang dipegangnya. Dengan sekali tebas sungut kumbang itu menghempaskan ranting berapi ke dinding ceruk. Ia mendekati Vorg. Vorg pun mengambl senjata tanduknya, berusaha menyerang kumbang itu. Tetapi senjatanya terlalu pendek, sedangkan sungut yang berbahaya itu terus menyambar-nyambar.

Beberapa serangan Vorg yang dilancarkannya sambil berguling-guling menghindari capit dan sungut si kumbang berhasil mengenai sisi tubuhnya yang keras. Tidak mempan! Cangkang kumbang itu terlalu tebal. Vorg juga tidak bisa menyerang wajahnya karena sungut dan capit si kumbang terlalu sulit untuk ditembus.
“Bagian mana selain matanya yang bisa kuserang?” Vorg menunduk menghindari katupan capit kumbang itu sambil berpikir keras.
“Perutnya!” pikir Vorg,” Bagian perut kumbang tidak tertutup cangkang.”
Maka Vorg pun sekali lagi berkelit menghindari serangan si kumbang dan berguling di tanah untuk menyerang perut kumbang raksasa itu.

Tapi kumbang besar itu ternyata sangat gesit. Tiba-tiba sungutnya sudah memagut siku dan lengan Vorg yang tidak terlindung. Teriakan Freeia melengking memenuhi gua, dan Vorg merasakan cengkraman gigi-gigi runcing dan capit yang menembus daging di sekitar sikunya. Dengan satu hentakan kuat disentakkannya lengannya dari cengkeraman sungut kumbang. Sebagian kulit dan dagingnya ikut terlepas, tetapi Vorg terlalu sibuk untuk memikirkan luka ataupun rasa sakitnya.
“Tali peri!” pekiknya pada Freeia,” Lemparkan tali peri padaku!”

Freeia terperanjat. Tangannya yang gemetar meraih gulungan tali peri dan melemparkannya pada Vorg. Vorg menangkapnya dan dengan 1 tangan dan giginya mengikatkannya secepat mungkin pada senjata tanduknya sambil berguling menghindari belitan alat penghisap kumbang yang kini bertambah ganas karena sudah mencicipi daging mangsanya.

Vorg memutarkan tali yang berujungkan senjata tanduk itu di atas kepalanya dan melemparkannya kea rah kaki-kaki kumbang yang sedang menyerbu ke arahnya. Berhasil! Tali itu melilit, menjerat kaki-kaki kumbang yang banyak itu. Senjara tanduk mengunci belitan tali peri di kaki kumbang, membuatnya tak seimbang dan akhirnya jatuh terguling dengan bunyi berdedum keras dan kepulan debu yang terangkat dari tanah.

Kumbang itu mengais-ngaiskan kaki-kakinya yang terbelit tali peri tanpa dapat membalikkan tubuhnya. Ia meraung marah, sungutnya menyambar-nyambar. Secepat kilat Vorg mengambil sebatang ranting berapi dan melompat di antara kaki-kaki kumbang. Dengan sekuat tenaga ditusuknya perut kumbang itu dengan ranting yang masih membara. Kumbang itu menjerit keras dan berkelojotan. Lendir abu-abu kehijauan muncrat keluar. Vorg mencabut ranting itu, dikumpulkannya segenap sisa tenaganya dan sambil menggeram keras sekali lagi ditusuknya perut kumbang raksasa itu. Raungan kumbang memenuhi gua itu, duri-duri pada kaki-kakinya mencakar dan menggores wajah dan tubuh Vorg, tapi Vorg tidak melepaskan tikaman rantingnya sampai kumbang itu mati dan tak bergerak lagi.

Sekujur tubuh Vorg berlumuran lendir dan darah. Terlalu lemas untuk melompat turun, Vorg pun terkulai lemas dan terjatuh dari perut kumbang. Kepalanya pening, matanya berkunang-kunang. Rupanya sungut kumbang itu beracun.

Freeia berlari menghampiri Vorg yang tergeletak di tanah.
“Vorg! Apakah kau baik-baik saja? Jawablah aku!”
“Sungut kumbang itu beracun. Ambil senjataku, torehlah lukaku dan keluarkan semua racunnya,” suara Vorg semakin melemah dan akhirnya ia pun tak sadarkan diri.

Freeia gemetar ketakutan. Rasa panik dan dan takut membuat air mata mengalir deras di pipinya.
“Aku harus menyelamatkan Vorg! Aku harus menyelamatkan Vorg!” pikirnya berulang-ulang.
Freeia pun memeberanikan diri untuk mendekati bangkai kumbang yang walaupun sudah mati masih tampak mengerikan. Digigitnya tali peri untuk memutuskannya. Diambilnya senjata tanduk Vorg lalu dibakarnya ujung dan sisinya yang tajam di atas api unggun.

Diseretnya tubuh Vorg mendekati api. Wajahnya yang memang pucat kini tampak keabu-abuan dan tubuhnya terasa sedingin es.
“Vorg, jangan mati! Jangan tinggalkan aku sendiri,” Freeia meratap di dalam hatinya.
Ditariknya nafas dalam-dalam untuk menguatkan hatinya, dan sambil menggigit bibir diangkatnya siku Vorg yang terluka. Luka menganga yang mengerikan, kini tampak berlendir dan agak menghitam. Freeia harus memaksa dirinya untuk menusuk luka itu dengan ujung tanduk yang tajam dan menorehnya cukup dalam agar darah kehitaman yang mulai menggumpal itu bisa mengalir keluar.

Darah yang menghitam bercampur racun mengalir dan menetes ke tanah. Freeia menekan-nekan dan mengurut sekeliling luka Vorg, memaksa semua darah yang terkontaminasi racun untuk keluar. Setelah darah yang mengalir keluar menjadi merah segar barulah ia berhenti mengurut lengan Vorg. Kemudian dibersihkannya daging-daging yang tampak seperti terbakar kehitaman karena terkena racun. Setelah itu dibasuhnya luka itu dengan air panas. Akhirnya, Freeia mencabut sehelai mahkota bunga dari pakaiannya dan membalut luka Vorg, membebatnya erat-erat dengan tali peri.

Freeia memandang tubuh Vorg yang basah bermandikan darah dan lendir kehijauan. Perlahan, dilepaskannya seluruh pakaian Vorg yang penuh dilumuri lendir dan darah itu. Sebagian sarang labah-labahnya tercabik-cabik terkena duri kaki kumbang dan cangkang kumbangnya tampak tergores di sana-sini walaupun tidak ada yang pecah. Wajah Freeia memanas ketika ia melepaskan celana Vorg. Ia menelan ludah dan memejamkan mata ketika menurunkan celana pemuda itu. Pelan-pelan dibukanya sebelah matanya. Untunglah, ternyata ia mengenakan semacam cawat di selangkangannya.

Freeia membersihkan tubuh Vorg dengan sobekan bajunya dan air hangat. Membersihkan sisa-sisa lendir dan darah, membersihkan semua luka gores dan memar di tubuhnya. Ternyata sangat banyak bekas luka yang sudah sembuh di tubuh pemuda itu. Freeia tak dapat membayangkan kerasnya kehidupan yang dihadapi Vorg setiap hari. Setelah selesai Freeia berusaha meminumkan sedikit air hangat ke mulut Vorg, lalu menyelimutinya dengan mantel bulunya, dan mulai membersihkan dan memperbaiki pakaian Vorg yang kotor dan sobek-sobek dengan jarum dan tali peri yang memang dibawanya untuk menjahit.

Setelah semuanya selesai kembali dihampirinya tubuh Vorg. Wajahnya masih tampak pucat, dan nafasnya lemah sekali. Tetapi butir-butir keringat bermunculan di wajahnya. Dirabanya kening Vorg. Kulitnya kini terasa panas seperti api. Coba dirabanya dada Vorg, ternyata sama panasnya. Bgaimana ini? Freeia terdiam kebingungan, rasa khawatirnya memuncak.
“Ayo berpikir Freeia!” bisiknya pada dirinya sendiri. Akhirnya diambilnya segumpal salju untuk mengompres dahi pemuda itu. Sebentar saja salju itu sudah mencair. Sepanjang malam Freeia mengompres dari Vorg sambil tak henti-hentinya bergumam,” Ayo Vorg, kau harus sembuh. Ayolah Vorg…” Sesekali Vorg mengigau. Dipanggilnya nama Freeia dan Trod dalam tidurnya yang gelisah.

Kegigihan Freeia akhirnya membuahkan hasil. Menjelang dini hari suhu tubuh Vorg mulai menurun dan tidurnya pun mulai tenang. Freeia menghela nafas dengan lega. Sambil duduk di samping Vorg, Freeia pun akhirnya jatuh tertidur kelelahan.

TO BE CONTINUED….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar