Rabu, 23 Juni 2010

A Tribute to Fredy Widjaja

Pada hari Sabtu, tanggal 26 Desember 2009 yang lalu, saya mendapat kabar yang sangat mengejutkan. Seorang teman meninggal dunia di usianya yang masih sangat muda karena serangan jantung mendadak. Padahal selama ini tidak ada gejala bahwa dia mengidap kelainan jantung. Dia meninggalkan seorang istri dan seorang putri berusia 8 bulan.

Dia bernama Fredy Widjaja. Pertama kali aku mengenalnya kira-kira 10 tahun yang lalu. Saat itu kami tergabung dalam suatu kelompok persekutuan yang bertempat di rumahku. Sebetulnya, dia adalah teman kuliah adikku. Adikku kemudian mengajaknya bergabung dalam pertemuan persekutuan doa kami.

Kesan pertama aku melihatnya, seorang pria tinggi besar berkacamata, berkulit hitam dan berambut gondrong. Cukup mengintimidasi, apalagi dengan pakaiannya yang dominan hitam. Secara keseluruhan tampilannya seperti seorang ‘Biker’ atau penggemar motor besar, yang ternyata benar juga. Dia memang penggemar motor besar, bersama kakak dan Papanya, mereka bertiga memiliki hobi mengoleksi replika atau miniatur berbagai macam motor besar. Tetapi begitu sudah mengobrol dan mengenalnya lebih jauh, kesan angker dan sangar yang ada di awal perjumpaan ternyata tidak sedikitpun mendekati kenyataannya. Fredy ternyata orang yang sangat ramah dan mudah tertawa.

Selama tahun-tahun aku mengenalnya, lebih jauh kujumpai bahwa Fredy itu orang yang apa adanya. Saat menawarkan jasa asuransi, yang memang menjadi salah satu bidang karir yang digelutinya selain bidang kontraktor bangunan, setelah menjelaskan manfaat asuransi yang ditawarkannya, dengan terus terang dikatakannya bahwa ia sedang mengejar target nasabah bulanan di kantornya. Kami tertawa bersama saat itu, menghargai keterus terangannya yang tidak seperti salesman lain yang pada umumnya yang cenderung memanipulasi kata-kata dan menghalalkan segala jenis persuasi dengan kamuflase “untuk keuntungan nasabah sendiri” guna mencapai target penjualannya.

Hal lain yang aku kagumi darinya adalah kerendahan hatinya yang selalu bersedia menerima masukan dari orang lain. Dan kemauannya untuk memperbaiki diri dan menjadi lebih baik dalam hidupnya. Juga kesetiaannya dalam setiap hal yang dilakoninya, mulai dari pekerjaan sampai hubungan dengan orang-orang dalam hidupnya. Kekasih yang dengannya Fredy menjalin kasih sejak jaman kuliah kira-kira 10 tahun yang lalu, sampai kini telah menjadi istri dan menjadi ibu dari buah hati mereka berdua.

Akan tetapi yang paling kukagumi dari Fredy, sebetulnya baru kusadari saat aku melayat ke rumah duka. Percakapan dengan Lenny, istri dari Fredy yang ditinggalkannya dalam usia yang masih sangat muda membuatku tak bisa tidak menitikkan air mata dan mengacungkan jempol secara jasmani dan rohani untuk Fredy.

Lenny bercerita betapa dalam tahun-tahun terakhir, yang boleh dibilang tahun-tahun keemasan dalam hidupnya, Fredy mengalami begitu banyak transformasi yang menakjubkan dalam berbagai bidang kehidupan, karakter, maupun kerohaniannya. Ia akhirnya menikahi Lenny menjadi istrinya, pekerjaannya pun mencapai titik terang dan mulai membuahkan hasil dalam tahun-tahun terakhirnya. Secara karakter dan rohani ia berkembang sedemikian rupa menjadi seorang anak terkasih kebanggaan orang tua, menjadi suami dan kepala keluarga yang begitu mengasihi dan mengayomi istri dan keluarganya, dan menjadi teman yang baik dan dicintai di antara teman-temannya, mulai dari teman-teman lama sampai teman-teman barunya.

Kalau boleh saya kutip pengakuan Lenny kepada saya mengenai suaminya mengenai saat-saat terakhir hidupnya.
“Beberapa bulan belakangan ini Fredy makin deket sama Tuhan. Bahkan 4 hari sebelum Fredy dipanggil Tuhan, pada suatu kesempatan dia lagi ngegitar sambil memuji Tuhan. Dia nyanyi sambil menitikkan air mata, terus dia bilang sama saya, ‘Len, elu kalo mau ikut Tuhan tuh ngga boleh 99,99% tau ngga? Kudu 100% tuh bener-bener 100%. Inget yah, Tuhan tuh baek banget sama kita’ gitu katanya, ngga tau kenapa ngga ada angin ngga ada ujan dia ngomong gitu sama saya.”

“Yang saya kagum dari Fredy dia itu orangnya sabar banget. Sama anak buahnya juga dia selalu sabar, mau dengerin dan selalu ngomongin masalah tuh baik-baik. Kadang saya kalo lagi emosi dia tuh ingetin saya kalo Tuhan aja sabar kok menderita buat kita yang berdosa.”

“Satu peninggalan Fredy yang dia ajarin sama saya, yang akan saya pake juga buat ngedidik anak kita, bahwa semua rencana Tuhan itu adalah yang terbaik dan terindah menurut waktunya Tuhan. Dan kita harus percaya 100% bahwa Tuhan lebih tau apa yang terbaik buat kita.”

“Terlalu cepat emang Fredy ninggalin kita. Saya sih udah rela banget karena saya percaya ini udah rencana-Nya, dan Fredy juga meninggalnya tuh cepet banget. Ngga menderita, ngga ada tanda-tanda. Jam 2 masuk ICU, jam 6 udah ngga ada. Padahal sebelum masuk ICU itu dia cuman sempet ngeluh sakit dada sedikit, tapi masih sehat. Orang paginya dia masih ngantor kok. Cuman memang beberapa waktu belakangan dia suka ngomong hal-hal yang aneh, kaya waktu bulan lalu kan saya ulang tahun. Fredy tuh ngasih saya hadiah gelang ini, dan dia berkeras harus masangin gelang ini ke tangan saya, dia bilang,’Gua takut ngga bisa masangin gelang ini lagi ke tangan elu Len.’ Ngga tau kenapa dia bilang gitu.”

“Papanya Fredy terpukul banget sama kematian Fredy. Dia bilang Fredy tuh anak kebanggaan Papa, kenapa Tuhan bukan manggil Papa yang udah tua aja? Masa depan Fredy kan masih panjang? Tapi yah, kayanya Fredy udah nyiapin saya buat ini makanya pas di rumah sakit sebelum meninggal pun dia masih sempet ngingetin saya buat percaya 100% sama Tuhan. Terus dia meninggalnya sambil tersenyum, bener-bener tersenyum sampe Pendeta aja heran ngeliatnya. Jadi saya rasa dia tau kalo saya udah nerima bahwa ini rencana Tuhan.”

Melihat ketabahan istrinya dan imannya sama rencana Tuhan membuat saya lebih terenyuh lagi, juga membuat saya kagum sekaligus malu karena seandainya saya yang berada di posisinya saya merasa tidak akan bisa setegar itu. Mungkin saya malah menyalahkan Tuhan dan berpaling dari iman saya.

Kematian Fredy juga ternyata membawa dampak terhadap orang-orang di sekitarnya. Salah satunya Mama saya yang notobene tak ada hubungan apapun dengan Fredy. Mendengar kisah kematian Fredy beliau menanyakan penyebab kematiannya karena usianya masih sangat muda. Saya pun menceritakannya. Dan tahukan apa yang dikatakan Mama saya?

“Wah bener euy, orang baek kayanya baru bisa matinya enak gitu. Ngga menderita, ngga nyusahin orang lain, ngga disiksa dulu berbulan-bulan. Sayang dia masih muda. Kalo Mama sih mau deh matinya kaya gitu. Mama paling takut harus disiksa penyakit sebelum mati.”

“Percaya ngga percaya Ma, Tuhan tuh bilang kalau kita tuh sebenernya tinggal minta apa yang kita mau sama Tuhan. Dengan iman dan sikap hati yang benar, ngga ada yang ngga mungkin. Mama hanya harus berdoa dan minta sama Tuhan,” begitu jawabku pada Mama.

“Masa? Bisa gitu? Mama paling ngga bisa berdoa. Mama ngga tau mau ngomong apa kalo berdoa. Ngga kaya orang laen yang bisa berdoa panjang-panjang, Mama cuma bisa bilang ampuni Tuhan kalo saya bersalah, udah gitu aja.”

“Menurut saya itu udah bagus kok Ma, toh yang terpenting dari semuanya kan sebenernya pertobatan kita. Dan berdoa itu ngga harus panjang atau bagus, seperti kalo Mama lagi ngobrol atau cerita aja sama Tuhan...” dan seterusnya kita jadi ngobrol banyak tentang Tuhan. Padahal selama ini Mama orang yang jarang mau diajak ngobrol soal rohani dan awal mula Mama ikut Tuhan pun berkesan seperti hanya ikut-ikutan belaka. Sekali lagi saya terkagum-kagum bahwa seseorang masih dipakai Tuhan untuk menjadi saluran berkat-Nya, bahkan setelah ia meninggalkan dunia ini.

Akhirnya, seperti yang Lenny bilang, waktu dan tugas Fredy di dunia ini sudah selesai, tinggal kita yang masih menjalani waktu kita memilih untuk menjalani hidup seperti apa sebelum Tuhan memanggil kita pulang. Semoga semangat dan teladan Fredy Widjaja bisa menjadi kekuatan dan inspirasi bagi setiap kita yang pernah mengenalnya, amin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar