Rabu, 23 Juni 2010

Kisah Freeia dan Vorg part.10

Mereka melesat di keremangan langit senja dengan ketinggian dan kecepatan yang tak pernah terbayangkan. Freeia saja yang sebetulnya sudah terbiasa terbang merasa ngeri. Dicengkramnya bulu-bulu di leher Lloyd kuat-kuat. Kakinya menjepit leher burung besar itu sampai pegal rasanya. Untunglah dengan adanya tubuh kokoh Vorg di belakangnya dan kedua lengan kekar yang memeluk pinggangnya Freeia merasa cukup aman.

Sementara itu Vorg sebenarnya merasa sangat ngeri. Tubuh burung yang berlapiskan bulu itu terasa licin di pantatnya. Gerakan mengepak dari kedua sayap di kiri kanannya serasa mendorongnya ke berbagai arah dan ia tak menemukan tempat untuk berpegangan selain dari memeluk tubuh gadis yang duduk merapat di depannya. Tapi lama kelamaan Vorg dapat juga menikmati perjalanan udara itu. Tubuhnya mulai menemukan ritme yang seirama dengan kepakan sayap Lloyd. Helai-helai rambut Freeia yang halus dan harum tertiup angin menyapu wajahnya dan bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit menjadikan segalanya menjadi begitu indah. Untuk beberapa saat ia melupakan misi yang kini diembannya bersama Freeia dan rasa sakit menusuk yang berdenyut-denyut di siku dan di kepalanya.

Malam semakin larut tetapi Lloyd terus terbang dengan kecepatan tinggi menembus awan-awan. Vorg memaksa dirinya untuk terus terjaga. Pertama karena takut jatuh, kedua karena udara dingin yang tidak memungkinkannya untuk tidur. Bahkan ketebalan mantel bulunya tidak dapat melawan dinginnya angin di ketinggian seperti itu. Freeia tampaknya cukup nyaman dengan lilitan sayap di sekitar tubuhnya dan lengan Vorg di sekeliling pinggangnya. Beberapa kali gadis itu terangguk-angguk dalam tidurnya, tetapi Vorg memastikan gadis itu aman di atas punggung Lloyd.

Akhirnya Vorg merasa laju terbang mereka mulai melambat dan Lloyd mulai menurunkan ketinggian terbangnya. Saat itu sudah menjelang fajar. Hitamnya langit sudah mulai kehilangan kepekatannya dan bintang-bintang mulai kembali ke peraduannya. Ia memandang ke bawah. Tampaknya kini mereka berada di atas daerah rawa-rawa. Tanaman ilalang yang lebat tampak berkelompok di mana-mana mencuat dari permukaan tanah yang becek dan berlumpur. Beberapa pohon yang rendah tapi rimbun tumbuh di tepian genangan-genangan air yang besar, beberapa di antaranya bahkan hampir menyerupai danau-danau kecil.

Mereka melayang makin rendah hingga akhirnya dengan mulus mendarat di samping sebuah rumpun ilalang yang cukup lebat. Begitu kaki-kaki Lloyd menjejak tanah Freeia terbangun dari tidurnya.
“Hoahhemm… Di mana kita sekarang?” ujarnya sambil menguap dan menggeliat.
“Ssh… Kita sudah berada di wilayah kekuasaan Gorchuk. Sebaiknya kita berhati-hati karena dia menempatkan penjaga di setiap pelosok rawa ini.” Kata Lloyd setengah berbisik.
“Di sini baunya tidak enak,” kata Freeia lagi sambil mengernyitkan hidung, tetapi kali ini dengan suara yang dipelankan.
“Justru karena itulah para Troll memilih tinggal di daerah berawa seperti ini. Mereka menyukai kelembaban dan bau-bauan yang menyengat. Makanan mereka pun biasanya berupa daging yang sudah membusuk dan berbagai jenis ulat dan serangga yang hidup di sekitar sini,” Lloyd menjelaskan dengan suara rendah.
“Hoekkh!” Freeia menjulurkan lidah sambil memegang perutnya yang tiba-tiba terasa mual.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Vorg akhirnya buka suara.
“Kurasa sebaiknya kita berusaha mendekati tempat kediaman Gorchuk mumpung hari masih gelap. Akan lebih sulit untuk kita mendekati istananya di siang hari,” kata Lloyd.
“Baiklah, ke arah mana?” tanya Vorg.

Lloyd memberi tanda dengan sayapnya untuk mengikutinya. Maka mereka pun berjalan mengendap-ngendap sambil merunduk dari satu rumpun ilalang ke rumpun ilalang berikutnya mendekati istana Gorchuk. Semakin mendekati istana Gorchuk tanah di bawah kaki mereka semakin becek dan berlumpur. Belum lagi dengingan nyamuk-nyamuk besar yang sesekali berseliweran di sekitar kepala mereka. Sepatu Freeia dan Vorg kini terbungkus lapisan tebal lumpur yang lengket dan bau. Demikian pula dengan kaki Lloyd. Berulang kali ia mengangkat kakinya dan berusaha mengguncangkan lumpur yang memenuhi sela-sela jari kakinya sebelum bisa melangkah lagi. Beberapa kali mereka harus berjalan memutar karena terdengar dengkur keras dari balik rumpun ilalang di hadapan mereka.
“Untung para penjaga Troll malas-malas dan tertidur selagi berjaga,” kata Freeia dengan berbisik.
“Untungnya lagi mereka semuanya mendengkur begitu kerasnya sehingga kita tidak menabrak salah satu dari mereka,” Vorg menimpali dengan berbisik juga.

Langit mulai menampakkan semburat jingga di sebelah timur. Rupanya sebentar lagi Sang Surya akan menampakkan wajahnya.
“Sekarang sudah dekat,” bisik Lloyd,”Istana Gorchuk terletak di balik rumpun ini. Mulai sekarang jangan bersuara sedikitpun.”

Perlahan mereka menyibakkan rumpun ilalang di hadapan mereka. Beberapa meter dari tempat mereka bersembunyi tampaklah istana Gorchuk yang tak tampak seperti istana di mata Freeia dan Vorg. Istana itu berupa bangunan batu besar tak berbentuk yang diselimuti lumut di seluruh permukaannya.Pintu masuknya terbuat dari potongan-potongan batang pohon yang berat yang dijalin dengan sulur-sulur tanaman yang kuat. Dua orang penjaga baru saja terjaga dari tidur mereka. Mereka bangkit dari duduknya di bongkahan batu berlumut di sebelah kiri dan kanan pintu gerbang besar itu.

“Huaahhhhmmm!!!” penjaga sebelah kiri menguap lebar sambil merentangkan tangannya. Suaranya sangat keras karena ternyata Troll itu cukup besar. Tingginya lebih dari tiga kali tinggi Vorg dan lebarnya lebih dari empat kali lebar tubuh Vorg. Badan mereka gempal dan padat, dengan kaki-kaki dan tangan-tangan yang pendek dan lebar. Wajah mereka penuh keriput seperti layaknya kakek-kakek. Hidung mereka bulat dan besar berwarna kemerahan dengan beberapa kutil di seluruh permukaannya dan bulu-bulu hidung mereka mencuat keluar dari kedua lubangnya. Alis mereka pun tebal hingga menjuntai di kedua sisi wajah mereka, tetapi mata mereka yang hitam bulat dan besar tampak kekanak-kananakan dan tidak cocok dengan wajah mereka yang keriput. Kedua mata itu bagaikan bola kaca hitam dan tidak memiliki bagian berwarna putih di sisinya, menonjol keluar dan begitu besarnya hingga memenuhi hampir separuh dari wajah mereka. Sedangkan mulut mereka sangat mungil dan hampir tersembunyi di bawah hidung besar yang memenuhi separuh sisa wajah mereka. Dan yang paling menakjubkan mungkin adalah rambut mereka. Rambut itu tumbuh panjang ke arah atas seolah-olah melawan gravitasi bumi. Penjaga sebelah kiri memiliki rambut berwarna ungu terang yang mencuat lurus dan bersatu di ujungnya sehingga membentuk kerucut yang melengkung membentuk spiral. Sementara penjaga sebelah kanan memiliki rambut berwarna hijau lumut yang mencuat ke segala arah seperti kipas. Dua gumpal kumis lebat berwarna sama menggantung di bawah setiap lubang hidungnya sehingga saat ia berbicara hanya tampak kedua kumis itu bergoyang-goyang tanpa terlihat lubang mulutnya.
“Bagaimana caranya dia makan ya?” mau tak mau pikiran itu terlintas di benak Freeia,”Pasti bubur biji bunga matahari akan tersangkut di kumis itu saat ia makan. Hiyyy!!”

“Kita harus bersiap-siap. Apakah hari ini Raja Gorchuk jadi mengirimkan permata biru untuk Putri Gwendoline?” kumis hijau itu bergerak-gerak cepat saat ia berbicara.
“Sepertinya belum. Kabar terakhir yang kudengar Putri Gwendoline mengajukan syarat tambahan untuk menerima pinangan Raja Gorchuk.” Timpal si rambut ungu.
“Ck ck ck. Memang makin cantik seorang wanita pasti semakin macam-macam saja maunya,” si kumis hijau berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, rambut kipasnya melambai-lambai seperti ekor merak.
“Hush! Jangan sampai Raja Gorchuk mendengar perkataanmu. Bisa-bisa dipenggalnya kepalamu nanti,” si rambut ungu mengingatkan. Si kumis langsung menutup mulutnya sambil celingukan ke segala arah.

Lloyd memberi tanda untuk mundur. Mereka pun mundur beberapa langkah dan mulai mengatur strategi.
“Tampaknya permata-permata itu ada di dalam,” ujar Lloyd senang.
“Bagaimana caranya kita masuk?” tanya Vorg.
“Itulah masalahnya. Kurasa kita harus mengalihkan perhatian kedua penjaga itu,” kata Lloyd.
“Kalaupun kita berhasil mengalihkan perhatian mereka, bagaimana cara kita membuka pintu yang besar dan berat itu?” Freeia ikut bertanya.
“Hmm… benar juga,” Lloyd tampak makin bingung.
“Apakah ada jalan masuk lain? Jendela mungkin?” kata Vorg.
“Aha! Itu dia! Kita harus mencari jendela untuk masuk,” Lloyd mengangguk setuju.
“Lalu, setelah kita berhasil masuk bagaimana?” Freeia kembali bertanya.
“Entahlah, yang penting kita harus asuk dulu,” jawab Lloyd lagi.

Maka mereka pun mengendap-ngendap memutari bangunan batu itu sambil mencari lubang atau jendela yang terbuka. Kini mereka harus lebih berhati-hati karena sudah terdengar suara-suara dari dalam istana itu yang menunjukkan terjadinya aktifitas di dalamnya. Beberapa jendela yang tertutup mereka jumpai dan mereka lewati karena mereka tak akan mungkin sanggup membukanya. Daun-daun jendela itu terbuat dari lempengan-lempengan kayu yang besar dan berat untuk ukuran tubuh mereka.
Akhirnya mereka menemukan sebuah jendela yang terbuka. Mereka menduga itu adalah jendela dapur karena sejalur tipis asap abu-abu tampak keluar dari cerobong batu di atasnya dan aroma berbau busuk menyengat menguar keluar dari jendela yang terbuka itu. Juga terdengar suara-suara Troll yang ditingkahi suara gedombrangan perkakas yang mereka gunakan dari dalam ruangan di balik jendela itu.

“Bagaimana ini?” Lloyd berbisik. Mereke bersisian di bawah jendela itu. Tubuh mereka menempel rapat pada dinding batu untuk meminimalisir kemungkinan ketahuan.
“Sebaiknya aku terbang dan mengintip keadaan di dalam,” Freeia balas berbisik.
“Terlalu berbahaya,” Vorg tidak setuju.
“Tapi tak ada cara lain. Tenanglah, aku akan berhati-hati,” Freeia menenangkan.
Maka Freeia pun melayang tanpa suara. Sayapnya yang berkilauan bergerak cepat sampai hanya tampak seperti kilatan cahaya keemasan yang berkelebat di belakang punggung dan bahunya. Sesampainya di bibir jendela Freeia bergantung ke tepi bawah jendela dengan kedua tangannya. Perlahan diangkatnya tubuhnya sampai matanya tepat berada di ambang jendela. Untunglah para Troll wanita di dalam dapur itu tampak sangat sibuk dan tidak memperhatikan ke arah jendela. Seorang Troll gemuk dengan rambut oranye keriting yang mencuat tak beraturan sedang sibuk membumbui sekerat daging yang sudah tampak berjamur dan dirayapi belatung dengan sejenis tepung berwarna kuning keabu-abuan di meja besar di tengah dapur. Troll wanita lainnya yang berambut biru lurus ke atas dan melingkar di ujungnya sedang memotong-motong semacam rumput rawa yang layu dan berlendir dan memasukkannya ke dalam panci besar berisi air comberan kecoklatan yang mendidih di atas api di dalam perapian besar yang menempel di dinding dapur. Di sudut lainnya seorang Troll wanita kurus dengan rambut pink menyala yang mengarah ke kiri seperti habis ditiup angin besar selama berjam-jam sedang menggosok peralatan makan dari logam yang sudah berkarat dengan secarik kain lap yang juga berjamur dan penuh bercak-bercak kehitaman.

Perlahan Freeia melayang turun dan menceritakan apa yang dilihatnya kepada Vorg dan Lloyd.
“Menurutmu, bisakah kita masuk tanpa ketahuan?” tanya Vorg.
“Kalau kita kurasa bisa. Tapi Lloyd sepertinya pasti akan menarik perhatian mereka,” jawab Freeia sambil mengerutkan kening dan menotol-notol dagunya dengan jari telunjuk (yang menandakan bahwa ia sedang berpikir keras).
“Betul!” tiba-tiba Vorg berseru agak keras sambil menampar pahanya sendiri membuat kedua temannya terlonjak kaget, “ Lloyd harus terbang masuk dengan ribut dan menarik perhatian ketiga wanita Troll itu. Saat mereka sibuk dengannya, kita menyelinap masuk. Saat itu Lloyd harus terbang keluar dan bersembunyi di sekitar sini kalau-kalau kita butuh kabur dengan cepat,”Vorg menjelaskan strateginya.
“Kalau begitu aku tidak akan ikut menyelinap bersama kalian dong?” Lloyd tampak agak kecewa.
“Tidak ada jalan lain Lloyd, kau terlalu besar untuk menyusup tanpa terlihat oleh para Troll,” kata Vorg.
“Lagipula kami mengandalkanmu untuk kabur dari sini Lloyd. Justru peranmulah yang paling penting untuk menjamin keselamatan kita,” Freeia menambahkan dengan nada membujuk sambil mengelus pipi burung tampan itu.
“Baiklah kalau begitu,” akhirnya Lloyd setuju,” Aku akan mengangkat kalian ke jendela. Bersiap-siaplah untuk masuk begitu mereka mengejarku.”

Freeia dan Vorg pun memanjat ke atas punggung Lloyd yang membawa mereka sampai ke ambang jendela. Segera mereka turun dan bersembunyi di balik daun jendela itu. Tiba-tiba Lloyd melesat masuk ke dalam dapur Troll sambil berkaok-kaok ribut. Ketiga wanita Troll menjerit-jerit dan menutupi kepala mereka ketika paruh Lloyd menyambar-nyambar di atas kepala mereka. Si Troll berambut biru melemparkan pisau yang dipegangnya ke arah Lloyd. Untung Lloyd berhasil menghindar dan pisau itu menancap di daun jendela tepat di atas kepala Vorg yang reflek menunduk begitu pisau melayang ke arahnya. Lloyd kembali menyambar dan ketiga wanita Troll itu berebutan bersembunyi di balik meja sambil menjerit-jerit ribut. Melihat peluang itu Vorg segera menarik tangan Freeia melompat ke rak bumbu di samping jendela, melompat ke meja kecil di bawahnya, dan melorot turun melalui kaki meja itu ke lantai. Lloyd melihat Vorg dan Freeia sudah berhasil masuk dengan sudut matanya. Maka sambil menyambar sekali lagi ia pun melesat keluar dari jendela. Ketiga wanita Troll itu bergegas lari ke jendela dan membanting daun jendela itu keras-keras. Ketiganya terengah-engah di depan jendela.

“Aduh hampir copot jantungku,” ujar si Troll gemuk.
“Dasar burung kurang ajar. Mungkin dia lapar dan tertarik mencium harumnya bau masakan kita,” timpal si rambut pink.
“Sayang pisauku tidak mengenainya tadi. Sup burung busuk mungkin cukup enak untuk disajikan pada Raja Gorchuk,” si rambut biru tak mau kalah.
Sementara itu Freeia dan Vorg telah merayap di sepanjang dinding dapur dan keluar dari pintu dapur menuju bagian dalam dari istana Gorchuk.

TO BE CONTINUED….
Berhasilkan mereka menemukan keempat permata musim?
Nantikan lanjutannya di Kisah Freeia dan Vorg part.11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar